KOMPAS.COM - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan resmi mencabut status lima jenis burung dari daftar satwa dilindungi.
Hal tersebut dimuat dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 92/2018 yang merupakan perubahan atas Permen LHK No. 20/2018.
Lima jenis burung yang dikeluarkan dari daftar adalah kucica hutan atau murai batu (Kittacincla malabarica), jalak suren (Gracupica jalla), cucak rawa (Pycnonotus zeylanicus), anis-bentet kecil (Colluricincla megarhyncha), dan anis-bentet sangihe (Coracornis sanghirensis).
Murai batu, jalak suren, dan cucak rawa merupakan tiga burung kicau yang selama ini diperjuangkan para penangkar dan pecinta burung berkicau. Sementara anis-bentet kecil dan anis-bentet sangihe sebenarnya termasuk burung endemik yang hanya dijumpai di daerah tertentu.
Ditekennya kebijakan tersebut mengundang perasaan lega sekaligus was-was.
Berkaitan dengan isu tersebut, Ketua Umum Pelestari Burung Indonesia (PBI), Bagya Rahmadi dan Head of Communication & Institutional Development Burung Indonesia, Ria Saryhanti, Senin (8/10/2018) memberikan komentar.
Dari kacamata PBI
Kepada Kompas.com Bagya mengatakan, burung yang diperjuangkan pihaknya adalah burung murai batu, cucak rawa, dan jalak suren. Ketiga burung tersebut merupakan burung kicau untuk perlombaan.
"Ketiga jenis burung itu sudah berhasil ditangkarkan oleh para penangkar, sehingga tidak terancam punah. Memang, di habitat alam menurut penelitian LIPI habitat tersebut sudah menipis," ujar Bagya.
Menurut Bagya, penangkaran berperan penting dalam usaha konservasi burung. Pasalnya, para penangkar burung juga ikut melestarikan dan membudidayakan burung kicau yang di alam jumlahnya menipis.
Selain itu, ketika penangkar - dalam hal ini PBI - melakukan perlombaan burung kicau, burung tersebut harus berasal dari penangkaran dan bukan dari pengepul atau penjual burung hasil tangkapan di hutan.
"Hal itu dibuktikan dengan adanya ring atau close ring di kakinya," ujar Bagya.
Para penangkar PBI memiliki ring khusus dengan tulisan PBI dan nomor seri. Hal tersebut tidak hanya untuk penanda bahwa burung merupakan hasil penangkaran, tetapi juga untuk pendataan burung.
"Kami juga membina penangkar melalui program pelatihan untuk burung murai batu, cucak rawa, kacer, dan jalak uren," imbuh Bagya.
Ia berharap, pemerintah dapat menjaga satwa di alam, jangan hanya melarang perburuan tetapi bagaimana melestarikan burung tersebut agar berkembang biak di alam.
"Harapan PBI setelah ada penelitian dari LIPI pemerintah mestinya tidak hanya membuat regulasi melarang atau memasukkan dalam jenis burung yang dilindungi, namun juga berupaya bagaimana menjaga dan mengembangbiakkan satwa tersebut di hutan," ungkapnya.
"Bagi kami, penangkar adalah pahlawan konservasi. Kalau tidak ada penangkar, maka tidak ada keseimbangan dan kelestarian habitat burung," tutupnya.
Dari Kacamata Konservasi Burung Indonesia
Menunggu 20 Tahun, dipatahkan hanya dalam 2 bulan
Ria Saryhanti selaku Head of Communication & Institutional Development Burung Indonesia menyayangkan diresmikannya kebijakan P.92/2018.
Padahal, diresmikannya peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dengan nomor P.20/2018 yang ditandatangani Juli 2018 sudah ditunggu-tunggu oleh banyak pihak penggiat konservasi maupun yang bekerja di lapangan selama hampir 20 tahun sejak Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.
Yanthi mengingatkan kembali, adanya peraturan menteri tentang status perlindungan tumbuhan dan satwa, utamanya berguna untuk melindungi jenis-jenis tersebut di alam. Misalnya ada perburuan liar di alam, petugas konservasi yang bekerja di lapangan juga memiliki landasan hukum kuat untuk melakukan tindakan.
"Kalau status perlindungan itu dicabut, kami mengindikasi akan tetap ada penangkapan di alam. Baru-baru ini juga ada kasus penangkapan burung berkicau di alam, di jawa timur. Jenis-jenis seperti burung murai batu juga masih ditangkap di alam," papar Yanthi.
Seperti disebutkan di atas, tiga dari lima burung merupakan jenis burung kicau. Sementara Sementara anis-bentet kecil dan anis-bentet sangihe adalah satwa endemik.
Anis-bentet Sangihe hanya hidup di hutan pegunungan kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, Indonesia. Sementara anis-bentet kecil yang juga salah satu jenis burung beracun hanya hidup di Papua, Papua Niugini, dan Australia. Jumlah keduanya di alam semakin berkurang karena hilangnya habitat.
"Anis-bentet sangihe dan anis-bentet kecil sebenarnya bukan jenis burung berkicau yang banyak diminati pecinta burung. Karena nama depannya anis, mungkin (kedua jenis burung itu) dianggap sebagai keluarga dari anis merah yang banyak ditangkar dan dimiliki para penghobi," imbuh Yanthi.
"Nah ini yang sangat disayangkan, kenapa bisa dikeluarkan dari status perlindungannya".
Proses kurang matang
Menurut Yanthi, kebijakan baru yang dikeluarkan oleh KLHK adalah proses yang belum matang. Salah satunya, karena LIPI tidak dilibatkan dalam memberikan rekomendasi. LIPI hanya memberi rekomendasi awal saat pembentukan Permen P20/2018.
Padahal, untuk menaikkan status satwa dan tumbuhan yang dilindungi atau tidak dilindungi, harus berdasarkan rekomendasi otoritas ilmiah, dalam hal ini adalah LIPI.
Yanthi menambahkan, pihak penangkar maupun penghobi burung sebenarnya juga tidak memiliki dampak akan status perlindungan bagi burung kicau. Sebab seperti yang sudah disebut, perlindungan tersebut ditujukan untuk satwa dan tumbuhnan yang ada di alam.
Sementara untuk penangkaran atau pemilik burung kicau, sebenarnya berdasarkan surat edaran Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK sudah sangat jelas bahwa burung penangkaran bisa didaftarkan dan diperlakukan khusus, artinya spesimen yang tidak dilindungi.
"Jadi sebenarnya tidak bermasalah bagi burung hasil penangkaran. Meski jenis yang diperlihara adalah jenis yang dilindungi, tetapi kalau sudah ada di penangkaran dan bisa dibuktikan misalnya dengan ring, tidak ada masalah sebenarnya. Mereka masih bisa melakukan lomba dan hobi untuk jangka panjang," jelas Yanthi.
Oleh sebab itu, Konservasi Burung Indonesia dan organisasi lain sedang melihat peluang untuk menarik kembali Permen P92/2018. Hingga saat ini mereka masih melakukan pengkajian dan akan segera dilakukan dalam tempo secepatnya.
Sebagai pihak konservasi, Yanthi berharap agar KLHK dapat melaksanakan aturan terkait penangkaran dan lainnya dengan baik.
Selain itu, pendataan dan monitor di penangkaran juga dirasanya sebagai hal yang sangat penting. Hal ini untuk menghindari jika suatu saat ada motif bodong yang memalsukan data burung, dari penangkapan liar seolah-olah berasal dari penangkaran.
"Saya pikir KLHK bisa mendorong semua jajarannya untuk lebih menertibkan para penangkar, para penhobi, yang sebenarnya memiliki aturan sendiri. Ini perlu diperhatikan agar konservasinya jauh lebih baik," katanya.
Kemudian untuk pendataan di penangkaran, pihaknya berharap ring untuk burung penangkaran diberikan oleh satu pintu, dalam hal ini KLHK. Hal ini agar menghindari keraguan dari mana asal burung sebenarnya. Apakah benar dari penangkaran atau dipalsukan.
"Jika pemerintah bisa keluarkan satu sumber untuk cincin itu akan lebih baik,"tutupnya.
https://sains.kompas.com/read/2018/10/09/131717523/cucak-rawa-dan-4-jenis-burung-tak-lagi-dilindungi-kontroversi-mencuat