KOMPAS.com - Tahun ini, Indonesia beberapa kali diguncang gempa, dua kasus besar terjadi di Lombok dan Donggala. Hal ini menyadarkan kita bahwa Indonesia memang berada di wilayah rawan bencana.
Berbagai ulasan dan penelitian yang dilakukan oleh para pakar juga menegaskan potensi bencana di Indonesia.
Setiap kali publikasi potensi bencana dikeluarkan media, masyarakat merespon dengan membaca dan mendiskusikannya dengan perasaan takut dan khawatir. Namun, mengapa kekhawatiran itu sulit berkembang menjadi langkah nyata mitigasi bencana?
Listyo Yuwanto, seorang psikolog klinis yang banyak mengkaji psikologi kebencanaan menjelaskan alasannya.
"Selama ini saya setiap kali melakukan edukasi ya kadang kurang direspons baik," ungkapnya kepada Kompas.com, Kamis (04/10/2018) melalui pesan singkat.
Menurut Listyo, hal ini karena masyarakat di Indonesia memiliki sifat reaktif. Artinya, setelah kejadian bencana baru sadar pentingnya mitigasi bencana.
Untuk itu, beberapa pendekatan psikologis diperlukan agar masyarakat bisa diajak untuk melek mitigasi.
"Pendekatan psikologis yang dapat dilakukan adalah melakui pendidikan bencana dengan cara mengenalkan potensi bencana dan kehistorisan bencana yang pernah terjadi di daerah tempat tinggal mereka," tutur Listyo.
"Dikenalkan bahwa Indonesia rawan bencana gempa, erupsi gunung berapi, banjir, longsor, tsunami dan kekeringan," sambungnya.
Tak hanya itu, kata Listyo, masyarakat juga perlu memetakan tempat tinggal mereka masing-masing.
"Mereka diminta memetakan di mana mereka tinggal dan kemungkinana akan mengalami bencana (hazards) apa saja dan bagaimana kemungkinan dampaknya (risk) serta apa yang mereka bisa lakukan untuk mengurangi risiko," ujar dosen Universitas Surabaya tersebut.
"Diwajibkan setiap anggota keluarga mengikuti simulasi siaga bencana serta semua keluarga memiliki peralatan siaga bencana seperti tas darurat bencana," tambahnya.
Selain anggota masyarakat, peran pemerintah dalam mitigasi juga sangat diperlukan. Terutama dalam pembentukan regulasi dan kebijakan.
Listyo menyebut, pemerintah perlu membuat kebijakan yang rutin dan berkelanjutan untuk membentuk kota, desa, kampung, sekolah, kantor, dan keluarga siaga bencana.
"Ini harus dilakukan proaktif tidak hanya setelah ada kejadian besar baru dilakukannya," kata Listyo menegaskan.
"Dengan demikian, diharapkan adanya kesadaran masyarakat tentang kerawanan bencana dan tanggungjawab mereka dalam menyiapkan diri menghadapi bencana dan mengurangi risiko bencana," tutupnya.
https://sains.kompas.com/read/2018/10/04/174000723/indonesia-khawatir-bencana-tetapi-kenapa-susah-diajak-memitigasinya-