Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pascalikuefaksi Menelan Petobo, Ahli Beri 2 Pilihan untuk Palu

Likuefaksi adalah fenomena di mana lapisan tanah berubah menjadi lumpur dan membuatnya kehilangan kekuatan.

Akibat fenomena ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 744 bangunan yang tenggelam ditelan lumpur. Selain bangunan, mobil dan tiang listrik pun ikut lenyap.

Kini, lumpur yang muncul akibat likuifaksi sudah mengering. Lalu, apa yang harus dilakukan setelah fenomena likuefaksi?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, Adrin Toharo seorang peneliti bidang Geoteknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menerangkan fenomena likuefaksi bisa terjadi karena 4 syarat.

"Pertama, bila jenis tanah di suatu area berupa tanah pasir. Kedua, kondisi tanah tidak padat atau gembur. Ketiga, muka air tanah dangkal dan kedalamannya kurang dari 4 meter. Terakhir, terjadi guncangan gempa besar," papar Adrin dihubungi Kompas.com, Rabu (3/10/2018).

"Ketika ada guncangan, airnya terdorong ke atas dan menguraikan butiran-butiran pasir (menjadi lumpur). Lapisan tanah kehilangan daya dukung, kekuatan, makanya banyak bangunan yang ambles dan tenggelam. Ataupun kalau ada retakan, ia akan menyemprotkan air dan pasir," jelasnya.

Untuk memahami lebih jelas bagaimana likuefaksi terjadi, berikut video percobaan yang dibuat Illinois State Geological Survey:

Adrin juga mengatakan, daerah yang sudah pernah mengalami likuifaksi tetap berpotensi mengalami likuifaksi di masa mendatang, jika terkena goncangan yang besar. Ini karena tanah pasir likuifaksi tidak akan memadat dan kokoh seperti sedia kala.

"Tanah pasir itu akan tetap gembur karena ia tidak memiliki daya rekat," imbuhnya.

2 pilihan: Relokasi atau pencegahan dengan anggaran mahal

Untuk tindak lanjut pasca likuefaksi, Adrin menyarankan agar hindari area likuefaksi dan merelokasi masyarakat ke daerah yang lebih aman. Misalnya tanah yang memiliki daya rekat tinggi atau ke daerah perbukitan di mana tanahnya tersusun dari batuan.

"(Area) yang di Petobo, itu tidak bisa lagi menjadi daerah hunian. Karena untuk menanggulanginya akan membutuhkan biaya yang sangat mahal," ujarnya.

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk membuat tanah rawan likuefaksi menjadi padat adalah dengan menyuntikkan semen untuk mengikat butiran-butiran pasir. Namun, biayanya sangat mahal. Semakin dalam dan tebal lapisan tanah yang gembur, maka semakin besar biaya yang dibutuhkan.

"Tapi, cari ini menjadi kontradiksi karena kita membutuhkan air untuk hidup. Secara teknis memungkinkan, hanya soal biaya dan konsekuensinya tidak mudah dijawab," kata Rovicky kepada Kompas.com, Rabu (3/10/2018).

Rovicky pun menambahkan, bila daerah yang terkena likuifaksi merupakan tanah miring, nantinya kawasan tersebut akan rawan longsor.

Bagaimana mengetahui suatu kawasan tanahnya kuat?

Sebelum menentukan suatu daerah aman atau tidak dari likuefaksi, diperlukan investigasi kondisi tanah di bawah permukaan.

"Katakanlah dengan pengeboran, kemudian kita ambil sampelnya dan dilakukan uji penetrasi untuk mengetahui kepadatan tanah. Seberapa tebal tanah yang gembur, seberapa dalam lapisan tanah, dan seberapa dalam lapisan tanah yang mungkin mengelami likuefaksi," jelasnya.

"Kalau misalkan dangkal, katakanlah 1 meter yang mengalami likuefaksi, kita bisa kupas. Digali dan diganti dengan tanah yang bagus dan dipadatkan sehingga kita memiliki tanah yang bagus untuk pondasi rumah," imbuhnya.

Tapi, bila ketebalan tanah yang gembur sampai 10 meter, pemadatan bisa dilakukan dengan injeksi semen.

"Jadi memang untuk mengatasi kawasan likuefaksi membutuhkan biaya yang besar. Hal yang paling efektif adalah relokasi (bila kawasan merupakan daerah pemukiman) atau hindari daerah rawan likuefaksi," ucapnya.

https://sains.kompas.com/read/2018/10/03/202000023/pascalikuefaksi-menelan-petobo-ahli-beri-2-pilihan-untuk-palu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke