Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Hasanuddin Z Abidin mengungkapkan keruwetan masalah yang dihadapi saat gempa Donggala yang diikuti tsunami Palu.
Ia menjelaskan, BIG sebenarnya mengelola satu stasiun pasang surut di dermaga Kota Palu. Dalam stasiun itu terdapat alat pengukur pasang surut yang berfungsi mendeteksi tsunami.
Didukung dengan daya listrik, stasiun akan meneruskan data pasang surut ke pemangku kepentingan seperti BIG dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
"Stasiunnya persis di pinggir laut. Online pakai listrik. Sebelum gempa sebenarnya berfungsi tetapi begitu gempa komunikasi listrik mati," jelasnya.
Hasan menambahkan, dia sendiri tak tahu nasib stasiun pasang surut, apakah hancur akibat gempa dan tsunami atau masih berdiri.
"Yang jelas begitu listrik mati, data berhenti mengalir. Inilah tantangannya kalau alat tergantung listrik. Kita mengandalkan baterai cadangan tetapi ternyata juga tidak berfungsi," ungkapnya.
Ketika stasiun pasang surut tak berfungsi, sebenarnya masih ada satu harapan: buoy tsunami yang biasanya dipasang di lepas pantai.
"Tapi yang saya tahu kita tidak punya buoy tsunami di Palu. Buoy tsunami juga punya masalah. Banyak yang hilang dicuri," ungkap Hasan.
Gempa palu, kata hasan, punya pelajaran penting soal perlunya infrastruktur peringatan dini gempa dan tsunami.
"Kita perlu buoy tsunami dan back up jika satu tidak berfungsi. Termasuk soal stasiun pasang surut, bagaimana bisa tetap beroperasi dengan baterai cadangan," katanya.
"Kita pun harus berpikir soal listrik yang tahan gempa. Setiap kali gempa listrik mati," imbuhnya ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (30/9/2018).
https://sains.kompas.com/read/2018/09/30/181500723/kok-bisa-bisanya-tsunami-palu-tak-terdeteksi-big-beberkan-masalahnya