KOMPAS.com - Seberapa akuratkah seorang dokter memprediksi bagaimana nasib seseorang dengan gangguan mental serius di masa depan?
Menurut penelitian terbaru, kemampuan mereka tak sehebat AI atau artificial intelligence (kecerdasan buatan) atau robot.
Sebuah studi global yang diterbitkan pada hari Kamis (27/9/2018) di jurnal JAMA Psychiatry melihat apakah dokter atau AI lebih baik dalam memprediksi hasil masa depan pasien - seperti kemampuan untuk bekerja, atau menciptakan dan memelihara hubungan.
Para peneliti menemukan bahwa AI mengungguli para pakar dalam memprediksi hasil sosial pasien satu tahun kemudian.
Angka keakuratan prediksi AI tersebut mencapai angka 83 persen dari jumlah pasien, dan 70 persen di antaranya memiliki gangguan depresi baru-baru ini.
Akurasi yang lebih baik melalui model prediksi pembelajaran mesin ini diharapkan akan mengarah pada diagnosa dan pengobatan yang lebih baik untuk kondisi kesehatan mental.
Tetapi para psikiater tak perlu takut kehilangan pekerjaan mereka dari terobosan digital ini dalam waktu dekat -karena input manusia tetap menjadi bagian penting dalam proses tersebut.
Temuan ini didapatkan setelah para peneliti menindaklanjuti hingga 236 pasien dari 5 negara Eropa yang berisiko tinggi psikosis atau depresi baru. Kelompok ini disandingkan bersama dengan sebuah kelompok kontrol selama 18 bulan.
Nikolaos Koutsouleris, pemimpin penelitian ini mengatakan, dokter menghabiskan dua hari dengan pasien dalam percobaan sebelum diminta untuk memprediksi hasil mereka setelah satu tahun.
"Dan mereka memiliki kinerja tak seburuk itu," ungkap profesor aplikasi neurologi dan psikiatri di Universitas Ludwig-Maximillian di Munich, Jerman tersebut.
"Pada orang dengan risiko tinggi psikosis, mereka akurat sekitar 71 persen, dan pada pasien dengan depresi, hasilnya sedikit lebih rendah," imbuhnya.
Prediksi yang sama kemudian dibuat dengan algoritma yang dibuat menggunakan neuroimaging (pencitraan syaraf) dan data gabungan dari pasien.
"Algoritma secara signifikan lebih baik daripada dokter, akurasinya hingga 80 persen atau 82 persen," kata Profesor Koutsouleris.
Stephen Wood, pemimpin tim Australia, mengatakan bahwa memprediksi hasil masa depan untuk pasien yang berurusan dengan psikosis atau depresi bisa jadi soal menemukan pola dalam data masa lalu seseorang.
"Ini adalah hal yang, dalam beberapa kasus, manusia bisa melakukannya dengan sangat baik -dan mereka bahkan tidak menyadari bahwa mereka melakukannya," kata kepala Clinical Translational Neuroscience di Pusat Kesehatan Mental Orygen Youth itu.
Namun, beberapa orang terkecoh.
"Dalam penelitian kami, kami menunjukkan bahwa para ahli kami, jika mereka mengatakan seseorang akan memiliki hasil yang buruk, mereka biasanya benar, tetapi mereka melewatkan banyak orang yang terus memiliki hasil buruk," kata Profesor Wood.
Temuan Penting
Profesor Koutsouleris mengatakan, penciptaan algoritma diagnostik adalah hasil yang paling penting dari penelitian ini. Cara tersebut bisa memiliki implikasi besar terhadap bagaimana kita mengatur sistem perawatan kesehatan kita.
"(Dokter) bisa menggunakan alat ini untuk menghasilkan perkiraan kuantitatif, skor risiko kuantitatif bahwa orang ini memiliki risiko, X, ini mengembangkan disabilitas fungsional," katanya.
"Ini bisa menginformasikan pengambilan keputusan terapi, sehingga Anda bisa menyesuaikan perawatan untuk risiko tersebut - dan pada orang dengan risiko yang lebih rendah, pada dasarnya Anda bisa menindak lanjutinya," tegas Profesor Koutsouleris.
Dia juga mengatakan, ini akan memiliki efek besar dalam hal penghematan biaya.
Saat ini, kami memiliki pendekatan serbaguna.
"Kami menerapkan segala macam perawatan untuk menghindari kerusakan fungsi, dan kami tidak tahu siapa yang dalam perjalanannya mengembangkan hasil yang buruk," tutur Profesor Koutsouleris.
Sebagai informasi, penelitian ini berkonsentrasi pada orang-orang muda yang mungkin mengalami depresi atau kecemasan, tetapi juga menunjukkan tanda-tanda pengembangan psikosis yang dikaitkan dengan hasil sosial dan fungsional yang buruk.
"Kami tertarik pada apakah seseorang memiliki hubungan sosial yang baik dalam waktu satu tahun," jelasnya.
"Apakah mereka memiliki pertemanan yang baik; apakah mereka terlibat dalam kegiatan sosial di luar rumah; apakah mereka memiliki hubungan percintaan?"
"Ini adalah hal-hal yang sangat ingin diketahui oleh kaum muda -entah ini akan menjadi hasil yang baik bagi mereka atau tidak," tuturnya.
Profesor Wood mengatakan alat itu akan bermanfaat bagi orang yang mencari bantuan.
"Ada juga jaminan bahwa kami bisa memberi kepada kaum muda, yang kami prediksi, akan memiliki hasil fungsi sosial yang baik," katanya.
"Jika kami bisa membuat Anda terlibat dengan perawatan kami seperti biasa, maka ada kemungkinan sangat tinggi bahwa Anda akan mendapatkan hasil yang baik."
Tak Gantikan Dokter
Profesor Wood mengatakan penting bahwa penelitian lebih lanjut mereplikasi hasil yang kuat dari penelitian ini.
"Saya akan mengingatkan bahwa sangat mudah dibodohi oleh AI," katanya.
Dia juga memperingatkan terhadap bahaya mencocok-cocokkan data terhadap hasil.
"Apa yang kami lakukan sekarang adalah kembali dan mengumpulkan sampel baru untuk memeriksa bahwa pola ini benar-benar memprediksi masa depan untuk jenis presentasi ini bagi orang-orang muda ini," ujarnya.
"Dan kami sama sekali belum masuk tahap untuk menggantikan perawatan psikiatrik dengan robot," katanya menegaskan.
Dengan kata lain, Profesor Wood mempertegas bahwa bagian intervensi manusia sangat penting.
"Apa yang paling mungkin kami lakukan adalah memberi tahu dokter: Ini adalah perkiraan terbaik kami tentang hasil untuk orang muda ini – pertimbangkan itu ketika Anda mendiskusikan pilihan perawatan," tutupnya.
https://sains.kompas.com/read/2018/09/28/080438023/studi-di-masa-depan-ai-saingi-dokter-dalam-deteksi-gangguan-mental