Aldi hanyut ketika perangkap ikan terapung atau rompong yang ditumpanginya terlepas dari tambatannya akibat angin kencang pada pertengahan Juli lalu.
Ia berakhir di perairan dekat pulau Guam di Samudera Pasifik, ketika panggilan daruratnya dijawab sebuah kapal berbendera Panama menuju Jepang pada 31 Agustus.
Dengan persediaan makanan terbatas, remaja 18 tahun itu menyambung hidup dengan makan ikan dan minum air laut yang disaring dengan bajunya.
"Mulai satu minggu setelah bahan makanan habis, saya mengail terus, ikan manta, ikan rebus, ikan bakar. Itu makanan saya selama hanyut," tutur Aldi Novel Adilang kepada wartawan di Manado, Eva Aruperes, untuk BBC News Indonesia.
Pengalaman Aldi yang kerap disamakan dengan cerita novel "Life of Pi" menjadi salah satu kisah dramatis tentang manusia yang berhasil bertahan hidup dalam kondisi ekstrem di tengah laut.
Tapi apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh kita saat terjebak di lautan?
Di tengah laut, tubuh manusia dihadapkan pada dua tantangan besar, yakni kekurangan air dan kondisi ekstrem.
"Tubuh pun merespons dengan dua cara yang disebut osmoregulasi dan termoregulasi," kata Ahmad Ridwan, asisten profesor fisiologi hewan di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati ITB.
Osmoregulasi adalah penyesuaian agar tingkat cairan di dalam tubuh terjaga untuk bertahan hidup. Sel tubuh manusia terdiri dari 90 persen air, jika jumlah itu berkurang sampai 70 persen, maka sel akan terganggu berat.
Sedangkan termoregulasi adalah upaya tubuh untuk mempertahankan diri agar perubahan temperatur tidak terlalu ekstrem. Suhu tubuh manusia harus dipertahankan di kisaran 37 derajat Celsius.
Ridwan menambahkan bahwa dalam keadaan asupan energi rendah, tubuh akan melambatkan laju metabolisme sampai pada tingkat yang paling rendah sehingga terjadi penghematan energi. Kondisi ini disebut Basal Metabolic Rate (BMR).
"Satu-satunya cara adalah dengan rest (istirahat), tidur. Harus melakukan aktivitas seminim mungkin," ujarnya.
Maka dari itu, menurut Komandan Pasukan Katak Koarmada I TNI-AL Letkol Laut Johan Wahyudi, ada lima hal yang perlu diperhatikan saat berusaha bertahan di tengah laut.
1. Air
Air adalah sumber yang paling penting untuk bertahan hidup, bahkan lebih penting dari makanan. Manusia sanggup hidup tanpa makanan sampai 40 hari, tapi kita hanya bisa bertahan 4 sampai enam hari tanpa air.
Karena air garam tidak bisa memuaskan dahaga, orang yang terjebak di laut biasanya mengandalkan air hujan atau embun.
Kantor berita AFP melaporkan, Aldi dapat bertahan selama 49 hari dengan memeras air dari bajunya.
Menurut Johan, beberapa orang mungkin bisa bertahan dengan meminum air garam dalam jumlah yang sedikit. Seorang ilmuwan Perancis bernama Alain Bombard juga pernah mencobanya meski eksperimennya gagal diulangi. Ia memperingatkan, cara ini mungkin tidak bisa dilakukan semua orang.
Ketika Anda meminum air garam dari laut, Anda memasukkan garam dalam jumlah lebih dari yang dibutuhkan oleh tubuh. Akibatnya, tubuh akan membutuhkan lebih banyak air untuk membuang garam berlebih dan membuat dehidrasi.
2. Naungan
Salah satu hal yang membantu Aldi bertahan hidup ialah rompong yang ditumpanginya dilengkapi atap. Naungan (shelter) sangat penting untuk melindungi tubuh dari teriknya sinar matahari di tengah laut.
"Kenapa harus terlindung dari sinar matahari? Ya minimal (supaya) tidak ada penguapan, tidak ada air yang keluar dari dalam tubuh," kata Johan.
Dalam kondisi kekurangan air, kebutuhan untuk menurunkan suhu tubuh dengan mengeluarkan keringat akan menambah stres pada fisiologi kita. Semakin lama kita bisa menyimpan air di dalam tubuh, maka kemungkinan untuk bertahan hidup pun semakin besar.
Tapi bagaimana jika tidak ada naungan?
"Apabila tidak ada shelter atau tempat berlindung, minimal badan harus selalu basah. Itu akan mengurangi penguapan dari tubuh," imbuh Johan.
3. Kenali bahaya dan letak pulau terdekat
Saat terjebak di tengah laut, kita perlu mengenali hewan apa yang bisa mengancam hidup kita. Di perairan dalam, bahaya terbesar biasanya berupa hiu.
Aldi juga dilaporkan berpapasan dengan predator laut itu. "Saya hanya bisa berdoa dan hiu itu pergi," katanya, seperti dilaporkan Tribun Manado.
Johan berkata, sebelum melakukan penyelaman di perairan dalam, penyelam biasanya melumuri badan mereka dengan cairan pengusir hiu atau shark repellent.
Jika cairan ini tidak tersedia, Johan menyarankan untuk tetap diam dan tenang saat bertemu hiu sambil mengamati pergerakannya.
"Jangan sampai kita melakukan gerakan, seolah-olah gerakan ini mengancam si hiu itu," kata Johan.
4. Tetap tenang
"Biasanya orang tenggelam itu karena tidak bisa menguasai diri. Bisa jadi karena dia panik, stres, kelelahan, atau tidak punya harapan untuk hidup," ungkap Johan.
Karena itu, penting untuk tetap tenang dan tidak terburu-buru. Carilah pelampung atau peralatan lain yang bisa digunakan untuk bersandar atau mengaitkan badan.
Cara mengatasi panik menurut Johan adalah dengan mengingat bahwa pada dasarnya setiap manusia yang dilempar ke air laut akan terapung.
"Itulah yang harus kita jaga. Tetap kuasai, kita (bisa) timbul ke permukaan dengan melihat ke atas dan biarkan saja kaki terbuka, terus tangan mengembang. Kalau kita bisa tidur, kita bisa tiduran. Kalau kita tidak bisa tidur, minimal dari leher ke atas itu tetap timbul di permukaan," kata Johan.
Hal yang tidak kalah penting ialah mengetahui letak pelampung badan, sekoci, dan pintu keluar ketika naik ke kapal.
5. Cari bantuan
Idealnya, setiap kapal dilengkapi pistol flare atau peralatan komunikasi lainnya yang bisa Anda gunakan untuk mencari pertolongan.
Jika tidak ada, Anda bisa menggunakan bintang sebagai panduan arah. Kalau Anda tidak hafal rasi bintang, setidaknya Anda bisa menentukan arah dengan menggunakan matahari.
"Kalau matahari tenggelam di sebelah kiri kita, berarti arah depan kita adalah utara," kata Johan
https://sains.kompas.com/read/2018/09/26/113407823/5-kiat-yang-harus-diingat-bila-terapung-seperti-aldi-novel-adilang