"Perencanaan keluarga melalui kontrasepsi merupakan gerakan global yang penting dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan," ucap dr. Andon Hestiantoro, SpOG(k) dari Divisi Imunoendokrinologi Reproduksi, Departemen Obstetri dan Ginekologi, RSCM.
"Penggunaan kontrasepsi tidak saja bertujuan untuk mengendalikan kelahiran tapi juga untuk memperkuat hak-hak perempuan dalam menentukan waktu dan kesiapan kehamilan demi kesehatan perempuan".
Dalam acara Hari Kontrasepsi Dunia yang diadakan di Jakarta, Selasa (25/9/2018), Andon mengatakan saat pasangan suami istri merencanakan jarak kehamilan dengan baik, maka perempuan dapat lebih memberdayakan dirinya dalam segi pendidikan dan sosial.
Hal ini nantinya dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan diri sendiri dan keluarga.
Andon juga menyarankan agar para perempuan tak perlu ragu bila akan memilih alat kontrasepsi.
Salah satu alat kontrasepsi yang enggan dipakai perempuan adalah pil KB. Alasannya, rutin mengonsumsi pil KB dapat membuat bobot tubuh bertambah dan akhirnya kepercayaan diri menurun.
Andon menegaskan, hal tersebut sudah tidak berlaku lagi. Pasalnya, pil KB yang dapat menimbulkan kegemukan dipasarkan pada beberapa dekade lalu.
Seiring perkembangan zaman, kandungan progestin dalam pil KB sudah diubah sehingga tidak lagi menyebabkan kegemukan.
"Dalam pil KB sekarang, sudah ada progestin baru yang tidak memicu napsu makan. Nah, progestin yang jumlahnya cukup banyak - seperti di pil KB zaman dulu - itu yang meningkatkan napsu makan. Kalau di pil KB sekarang, masih ada kandungannya tapi dalam jumlah sedikit sehingga nafsu makan kecil," ujar Andon.
Penggunaan alat kontrasepsi untuk menjaga jarak kehamilan juga dapat meningkatkan kebahagiaan pada perempuan. Hal ini didasari oleh banyaknya perempuan yang mengalami depresi setelah persalinan.
Depresi pasca melahirkan muncul karena perempuan mengalami masalah dalam proses persalinan, misalnya karena ada masalah pada alat bantu, sesar, atau vakum.
"Dan hormon estrogen dan progesterone perempuan berada pada titik paling rendah saat persalinan. Di situlah diperlukan kontrasepsi hormonal untuk menaikkan hormon, terlebih lagi jika perempuan mengalami psikosis postpartum setelah melahirkan," jelasnya.
Psikosis postpartum, menurut Andon adalah depresi yang paling berbahaya karena ada kecederungan perempuan berhalusinasi dan berujung pada keinginan untuk mencelakai bayinya.
Pada perempuan yang ragu untuk mengikuti program kontrasepsi sering juga disebabkan oleh adanya saran dari suami untuk tidak mengikuti program KB.
Menanggapi hal tersebut, Andon menyerukan agar perempuan berani untuk membuka suara dan menyampaikan aspirasi mereka.
"Kita harus menghargai hak perempuan supaya dia bisa mengendalikan kesuburannya. Sudah saatnya kita angkat harkat perempuan. Pentingnya memotivasi perempuan untuk berani bersuara apakah dia sudah siap untuk hamil atau belum," kata Andon.
Andon percaya, bila kita bisa memberdayakan perempuan maka kita juga bisa menghindari subordinasi perempuan, marjinalisasi, beban kerja berlebih, stereotip buruk yang mengatakan perempuan kaum yang lemah dan mengurangi kekerasan.
"Sebenarnya, banyak anak banyak rezeki itu ada benarnya, tetapi kita juga harus sadar yang namanya family planning itu penting. Ga bisa dong sekarang hamil, enam bulan lagi hamil lagi," pungkasnya.
https://sains.kompas.com/read/2018/09/25/170000923/kontrasepsi-bukan-cuma-soal-jumlah-anak-tapi-juga-hak-perempuan