KOMPAS.com - Pernahkah Anda membayangkan, apa jadinya jika gurita diberi ekstasi? Dengan rasa penasaran yang sama, para ilmuwan dari Johns Hopkins University, AS melakukan percobaan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Namun, percobaan ini bukan hanya sekedar perbuatan iseng saja. Dengan cara ini, para peneliti ingin menyelidiki asal mula evolusi sinyal serotonin di otak.
Seperti yang diketahui, pada manusia, ekstasi menghasilkan serotonin, dipamin, dan oksitosi. Semua hormon tersebut menciptakan perasaan euforia dan membuat manusia menjadi lebih sosial.
Bagi para peneliti, mempelajari efek ini pada otak gurita bisa memberi pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana dan kapan perilaku sosial pertama kali muncul.
Sebagai informasi, nenek moyang umum manusia dan gurita terpecah pada pohon evolusi sekitar 500 juta tahun lalu.
Artinya, jika gurita merespons ekstasi dengan cara yang sama dengan manusia, itu menunjukkan jalur neurologis untuk perilaku sosial muncul sejak ratusan tahun lalu.
Untuk itu, gurita yang diamati adalah Octopus bimaculoides. Dalam laporan di jurnal Current Biology, pemilihan gurita ini karena sifatnya yang soliter dan antisosial.
Selain itu, jenis gurita ini memiliki genom yang berurutan sepenuhnya. Itu membuat mereka bisa membandingkannya dengan genom manusia.
Percobaan ini dimulai dengan merendam gurita ke sebuah bak yang mengadung methylendioxymethamphetamine (MDMA) selama 10 menit. Selanjutnya, 20 menit setelah keluar dari bak, gurita tersebut dimasukkan ke dalam sebuah tangki dengan tiga ruang.
Ruang pertama kosong, ruang kedua berisi benda mati, dan yang ketiga tedapat gurita lain.
Hasilnya, gurita yang di bawah pengaruh MDMA menjadi lebih sosial dan menghabiskan lebih banyak waktu dengan gurita lain. Tak hanya itu, mereka juga terlihat lebih sering menyentuh dengan cara eksploratif dan tidak agresif.
"Ketika mereka berperilaku dengan cara yang sama seperti manusia dan tikut berperilaku, kami sangat terkejut," ungkap Gul Dolen, salah satu peneliti dikutip dari Newsweek, Kamis (20/09/2018).
"Kami melihat beberapa dari mereka juga terlibat dalam apa yang saya gambarkan sebagai perilaku bermain (akrobatik air)," imbuh Dolen.
Tim ini menyebut temuan tersebut menunjukkan adanya kesamaan dalam gen yang mengangkut serotonin antara gurita dan manusia, meski keduanya memiliki perbedaan anatomi yang besar.
"Gurita terpisah dari manusia dengan sekitar 500 juta tahun evolusi, dan pada saat yang sama, mereka menunjukkan perilaku yang sangat kompleks untuk invertebrata," kata Dolen.
"Kami telah mengetahui untuk waktu yang lama bahwa serotonin adalah molekul evolusi purba (bahkan tanaman memilikinya). Penelitian ini menunjukkan pada kita bahwa salah satu jalan pemrosesan serotonin adalah di sinapsis otak yang juga cukup tua, seperti fungsinya sebagai pengatur perilaku sosial," imbuhnya.
Dolen mengatakan, penelitian ini menunjukkan bahwa pada spesies sosial seperti gurita, mekanisme otak terkait perilaku sosial mungkin telah ditekan.
Sayangnya, beberapa ahli tidak sepenuhnya yakin dengan kesimpulan tersebut. Salah satunya adalah Christine Huffard, dari Institut Riset Akuarium Monterey Bay.
"Ini adalah pendekatan yang sangat menarik untuk memahami evolusi interaksi hewan. Studi ini mendukung temuan sebelumnya bahwa interaksi antar-gurita dipengaruhi kondisi individu, termasuk paparan bahan kimia," kata Huffard.
"Namun, mengingat apa yang kita ketahui tentang interaksi gurita, penulis mungkin mengukur minat dalam agresi dan bukan apa yang kebanyakan orang anggap sebagai panggilan sosial yang ramah," tegasnya.
https://sains.kompas.com/read/2018/09/21/170000823/begini-efek-pemberian-ekstasi-pada-gurita-yang-terkenal-antisosial