KOMPAS.com - Astronot mungkin sangat berani, cerdas, dan berprestasi. Tapi jika menyangkut urusan buang air mereka bukanlah manusia super.
Ini tentu jadi runyam ketika mereka benar-benar harus ke luar angkasa untuk menjalankan misi.
Celakanya persoalan bagaimana astronot akan mengosongkan kandung kemih serta isi perut mereka begitu tiba di luar angkasa rupanya tidak terlalu dipikirkan oleh Badan Antariksa AS (NASA).
Hal ini baru disadari ketika pada tahun 1961 ketika astronot Alan Shepard akan menjalankan misi luar angkasanya. Dia harus duduk di landasan peluncuran terlebih dahulu.
Tiba-tiba Shepard mneyadari jika kandung kemihnya penuh dan tidak nyaman. Sayangnya, Shepard terpaksa kencing di celana.
"Dengan pakaian dalam katun, tentu itu jadi sangat basah. Tapi memang segera kering setelah peluncuran," kata Shepard dikutip dari Science Alert, Rabu (29/08/2018).
Kejadian itu membuat NASA mulai memikirkan peralatan yang bisa digunakan para astronot jika harus buang air.
Beragam peralatan pernah dicoba dikirimkan ke luar angkasa untuk mengatasi permasalahan tersebut. Mulai dari kantong kencing, popok, hingga toilet duduk bertali.
Misi Gemini menjadi titik balik di mana kali pertamanya NASA berusaha menangani kotoran. Perangkat pertama yang digunakan hanyalah tas yang ditempelkan pada pantat astronot.
"Setelah buang air besar, astronot diminta untuk menutup kantong dan meremasnya agar tercampur dengan cairan bakteri sehingga memberikan tingkat stabilisasi feses yang diinginkan," jelas NASA.
"Tugas ini tidak menyenangkan dan membutuhkan banyak waktu, jadi makanan dengan residu rendah dan obat pencahar umumnya digunakan sebelum misi diluncurkan," tambah badan antariksa AS itu.
Sistem ini pun juga masih jauh dari sempurna. Saat misi Apollo 10 pada tahun 1969, tiba-tiba astronot Tom Stafford berteriak meminta lap karena ada kotoran melayang di udara.
NASA kemudian mengembangkan 'faecal containment system' atau sistem penahan feses. Ini terdiri dari celana pendek dengan lapisan bahan penyerap.
Celana pendek akan berguna menahan ekskreta atau kotoran.
Lalu bagaimana ketika era perempuan pergi ke luar angkasa?
Untuk memungkinkan para perempuan astronot ini buang air di luar angkasa, NASA menciptakan Disposable Absorption Containment Trunk, atau kontainer penyerapan sekali pakai.
Bentuknya mirip celana pendek untuk bersepeda yang dirancang untuk menyerap kencing.
Selain itu, pesawat ulang-alik juga dilengkapi dengan toilet senilai $50.000 yang disebut Waste Collection System atau Sistem Pengumpul Limbah.
Tapi, lagi-lagi, sistem ini tetap tidak mudah untuk digunakan karena ukuran lubangnya hanya seperempat ukuran lubang toilet di Bumi.
Astronot harus berlatih menggunakan toilet ini terlebih dahulu di Bumi. Terlebih lagi tidak ada tisu toilet yang bisa digunakan di sana.
Itu mungkin mengapa, toilet luar angkasa menjadi pengalaman yang tak layak dikenang.
Para ilmuwan mendeskripsikan buang air besar dan buang air kecil sebagai aspek menganggu perjalanan luar angkasa.
Pendapat serupa juga diungkapkan astronot Peggy Whitson, yang mencatatkan 655 hari di luar angkasa. Bagi Whitson, pergi ke toilet ketika di luar angkasa menjadi bagian yang paling tidak menyenangkan.
"Berada di gravitasi nol itu sesuatu hal yang luar biasa, tetapi pergi ke kamar mandi di luar angkasa benar-benar hal yang tidak menyenangkan," katanya.
Era sudah berganti. Saat ini, para astronot di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) menggunakan toilet dengan lubang seukuran piring kecil yang dilengkapi dengan kipas vakum untuk menyedot kotoran mereka.
Sementara corong terpisah dilengkapi dengan kipas yang menyedot kencing mereka.
Setelah astronot selesai, kotoran mereka akan disimpan dalam kantong plastik dan akhirnya dikirim ke kapal kargo yang terbakar ketika meluncur ke Bumi.
Namun, toilet di ISS juga belum sempurna. Pada 2008 lalu, toilet di ISS sempat mengalami kerusakan.
Hal ini langsung menyebabkan masalah besar. Apalagi itu merupakan satu-satunya toilet di stasiun luar angkasa tersebut.
Beruntung saat itu pesawat ruang angkasa Rusia, Soyuz juga memiliki toilet meski dengan kapasitas terbatas.
Hal ini menandakan masalah toilet rupanya masih jadi isu krusial.
Untuk menangani hal tersbeut, tahun lalu, NASA bahkan meluncurkan Space Poop Challange. Ini merupakan sebuah kompetensi yang ditujukan untuk memecahkan masalah buang air di luar angkasa.
Tujuan utamanya adalah mengatasi masalah jika para astronot harus melakukan perjalanan dengan waktu tak sebentar, seperti ke Mars misalnya. Hadiah utama kompetisi ini bernilai US $ 15.000 atau setara dengan Rp 223,7 juta (kurs saat ini).
Thatcher Cardon, salah satu partisipan menyiapkan purwarupa yang dapat digunakan untuk mengumpulkan berbagai kantong limbah. Bahkan, alat ini bisa membantu astronot mengganti pakaian dalam mereka tanpa harus mencopot kostum astronot mereka.
Sebelum akhirnya kita mengarungi luar angkasa lebih jauh lagi, permasalahan toilet ini nampaknya harus terselesaikan terlebih dahulu.
https://sains.kompas.com/read/2018/09/18/103000123/dari-kantong-kencing-sampai-popok-begini-kesulitan-astronot-buang-air