DEPOK, KOMPAS.com – Penyandang tunarungu di Indonesia masih belum mendapat kesetaraannya jika dibandingkan dengan masyarakat normal.
Setidaknya, itu yang disampaikan Laura Lesmana Wijaya, perempuan 27 tahun yang juga merupakan penyandang tunarungu.
"Orang tuli dan masyarakat biasa berbeda, kita memiliki perbedaan bahasa dan budaya," ujar Laura didampingi oleh penerjemah bahasa isyarat, Nur Fajrianti.
"Dan dari sisi pendidikan, pendidikan pada orang tuli masih jauh tertinggal dibandingkan masyarakat biasa. Tapi bukan karena orang tulinya yang memilih tertinggal, bukan, tapi masyarakatnya yang meninggalkan kita," sambungnya.
Karena pendidikan yang tidak seimbang tersebut, Laura mengatakan bahwa penyandang tunarungu harus berjuang sendiri untuk dapat menyetarakan dalam hal pendidikan.
Menjadi tunarungu bukanlah pilihan Laura. Wanita tamatan The Chinese University of Hong Kong ini mengaku, ia terlahir tunarungu karena keluarganya pun demikian.
Dalam periode perkembangannya sampai saat ini, kekurangan itu tidak membuatnya diam di tempat.
"Saya pernah merasa sedih sekali, tapi untungnya tidak sampai depresi. Karena saya masih melihat anak-anak tuli. Masyarakat dan anak-anak tuli benar-benar tidak setara. Saya merasa khawatir dengan anak-anak tuli dan kesenjangannya," ungkapnya.
"Bagaimana mereka bisa berkembang menjadi dewasa? Kalau saya sudah dewasa, sudah oke, bisa menjalankan hidup sendiri, tapi bagaimana dengan nasib mereka yang tuli dan masih anak-anak?," tambahnya saat ditemui pada kegiatan Seminar dan Sosialisasi Video Edukasi Hipertensi dan Diabetes Mellitus bagi Masyarakat Tunarungu, Sabtu (08/09/2018) di Depok.
Laura menekankan, kesetaraan pendidikan antara penyandang tunarungu dan masyarakat normal adalah keharusan.
Untuk mewujudkan hal ini, Laura yang juga masuk dalam tim Lembaga Riset Bahasa Isyarat(LRBI), di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, melakukan beberapa inovasi.
"Langkah pertama, penelitian. Nah, di laboratorium bahasa isyarat ini, kita membuat buku pengajaran bahasa isyarat kemudian menyebarkannya dan mengajarkannya ke masyarakat tuli," ujar Laura.
"Agar masyarakat paham dan sadar isyarat itu penting dan setara dengan bahasa masyarakat umum lainnya. Bukan bahasa monyet, bukan. Tapi bahasa yang sama dengan yang lainnya, punya struktur, punya ekspresi, dan sebagainya," tambahnya.
Bukan hanya menyasarkan pada penyandang tunarungu, Laura ingin gerakan tersebut bisa menarik perhatian pemerintah untuk mendukung apa yang dia dan tim lakukan di LRBI UI.
Pasalnya, Laura berpendapat sampai saat ini kurikulum pendidikan masih disampaikan melalui verbal dan oral, untuk tunarungu masih belum mendapat dukungan yang masif.
Terlepas dari posisi penyandang tunarungu yang menurut Laura sampai saat ini masih belum mendapatkan tempat yang layak di masyarakat, dia optimis bahwa nantinya penyandang tunarungu dan masyarakat lainnya dapat setara.
"Saya mau bilang, saya optimis kita bisa setara, contohnya sudah ada, di desa bengkala, Bali, menggunakan bahasa kolok atau bahasa isyarat. Orang tuli dan orang dengar setara di sana," jelas wanita yang menjadi ketua Pusat Bahasa Isyarat Indonesia (Pusbisindo) itu.
"Orang dengar bertemu orang tuli langsung menggunakan bahasa isyarat, tidak menggunakan bahasa verbal karena orang sana paham kalau berbicara dengan orang tuli harus menggunakan bahasa isyarat, jadi ada kesetaraan, kalau kota besar seperti ini, belum," pungkas Laura.
https://sains.kompas.com/read/2018/09/10/190600923/kisah-laura-dan-asanya-bagi-penyandang-tunarungu-di-indonesia