KOMPAS.com – Banyak orang tidak bisa membayangkan hidup tanpa modernitas perkotaan. Padahal, padatnya jumlah manusia, hunian, kendaraan dan rutinitas dapat menyebabkan depresi hingga permasalahan fisik seperti obesitas.
Dalam sebuah penelitian, sebuah kelompok yang terdiri dari lima orang termasuk dua anak-anak mencoba pergi dari kota terbesar Venezuela, Caracas, selama 16 hari untuk tinggal di sebuah desa di dalam hutan bersama suku Ye'kwana.
Melalui momentum ini, para ilmuwan dari Amerika Serikat dan Venezuela berkesempatan untuk melihat bagaimana cara hidup yang lebih tradisional akan mempengaruhi mikrobioma usus mereka.
Studi ini diterbitkan pada jurnal terbuka mSphere dengan tujuan dapat membandingkan bagaimana kondisi usus penduduk kota dengan para penduduk lokal. Lebih spesifiknya, untuk mengetahui apakah dengan gaya hidup yang berubah, mirkrobiota di dalam usus menjadi lebih beragam atau tidak.
"Di desa ini, tidak ada pasar, tidak ada bodega (toko atau swalayan dalam bahasa spanyol), tidak ada minuman bersoda. Jadi ini menggambarkan pergeseran pola makan secara radikal dari olahan makanan instan di perkotaan menjadi non makanan olahan dan diet alami," ujar Maria Gloria Dominguez-Bello dalam sebuah pernyataan.
Percobaan ini merupakan pergeseran budaya besar dalam rutinitas masyarakat kota.
Mereka makan dua kali sehari dengan sup yang mengandung sedikit daging atau ikan, dan mengganti cemilan dengan akar singkong bertepung. Tidak hanya itu, mereka juga mengganti waktu alarm mereka untuk menyesuaikan diri dengan ritme sirkadian penduduk desa. Mereka mencuci di sungai tanpa sabun atau pasta gigi.
Selama mereka hidup dengan suku Ye’kwana, para peneliti mengambil sampel mikroba dari hidung, mulut, kulit, dan kotoran mereka.
Temuan sebelumnya, masyarakat perkotaan memiliki lebih sedikit microbiota di dalam usus mereka dan ini merupakan hal yang tidak baik. Oleh karenanya, kemungkinan adanya keragaman mikroba usus akibat perubahan pola makan dan gaya hidup menjadi menarik untuk diperhatikan.
"Sayangnya, tidak ada pergeseran secara signifikan pada mikrobiota usus subjek dewasa selama tinggal di hutan. Tapi mikrobiota usus pada dua anak-anak cenderung mengarah ke jumlah yang lebih tinggi dari total spesies mikroba yang ada sebelumnya," ungkap Dominguez-Bello.
Hal yang menarik adalah para ahli sebelumnya berpendapat bahwa jumlah mikrobiota usus kita sebenarnya sudah ditetapkan pada usia 3 tahun dan tidak ada perubahan ke depannya.
Namun, tidak pada temuan mereka kali ini.
"Meskipun hasil ini tidak signifikan secara statistik dan hanya pada dua subjek, hal ini tetap menarik, mengingat usia anak-anak ini adalah 4 dan 7 tahun. Ini menunjukkan bahwa ketetapan jumlah mikrobiota Anda mungkin tidak berhenti pada usia pada 3 tahun, tetapi lebih lama," Dominguez-Bello menjelaskan.
Menurut Dominguez-Bello, ini merupakan penemuan besar. Memiliki mikrobiota usus yang beragam penting untuk melindungi diri kita dari penyakit dan memberikan ekstrasi nutrisi dari makanan kita. Sayangnya, hal ini adalah sesuatu yang tampaknya sulit diraih oleh penduduk perkotaan.
"Hasil ini meningkatkan kemungkinan yang menarik bahwa anak-anak perkotaan yang mengonsumsi makanan yang lebih tradisional, serat tinggi, rendah lemak dan memungkinkan pertubuhan mikroba usus yang lebih beragam," jelas Dominguez-Bello, seperti yang dilansir dari IFL Science Kami (06/09/2018).
Kedepannya, untuk mengeksplorasi temuan ini secara lebih rinci, tim berencana untuk melakukan penelitian yang lebih besar dengan menggunakan 12 anak untuk melakukan "perkemahan musim panas” di hutan.
https://sains.kompas.com/read/2018/09/08/100900223/hidup-di-hutan-baik-untuk-usus-anak-anak