Meningkatnya kegemaran penduduk di Asia terhadap produk daging dan makanan laut selama tiga dekade ke depan diyakini akan menggandakan jumlah emisi CO2 dan penggunaan antibiotika pada makanan. Kesimpulan ini dipublikasikan dalam sebuah studi milik Asia Research and Engagement di Singapura.
Lonjakan populasi, pendapatan, dan urbanisasi akan meningkatkan permintaan terhadap daging dan makanan laut sebanyak 78 persen antara 2017 dan 2050.
"Kami ingin menekankan ini karena populasi yang besar dan laju pertumbuhan populasi yang cepat akan membebani lingkungan," kata salah seorang peneliti, Serena Tan.
"Dengan mengakui ini dan di mana akar masalahnya, kita bisa mencari solusi yang tepat," imbunya kepada Reuters.
Meningkatnya permintaan akan menggandakan jejak emisi rantai distribusi makanan dari 2,9 juta ton CO2 menjadi 5,4 juta ton per tahun atau setara dengan jejak emisi seumur hidup untuk 95 juta kendaraan bermotor, klaim para peneliti.
Selain itu produksi makanan di Asia juga akan membutuhkan lahan seluas India untuk memenuhi permintaan pasar. Adapun penggunaan air akan melonjak dari 577 milyar meter kubik per tahun menjadi lebih dari 1 triliun meter kubik per tahun.
Salah satu kekhawatiran terbesar peneliti adalah penggunaan senyawa antimikroba yang dibutuhkan untuk membunuh atau menghentikan pertumbuhan mikroorganisme akan bertambah sebanyak 44 persen menjadi 39.000 ton per tahun.
Penggunaan berlebih atau penyalahgunaan antibiotika di dalam makanan saat ini marak di Asia, klaim Lembaga Pangan PBB (FAO) dalam laporan terbarunya tahun ini.
Penggunaan antibiotika dikhawatirkan bisa membuat bakteri yang mengancam manusia dan hewan menjadi lebih tahan terhadap obat-obatan.
"Pertumbuhan kemakmuran adalah motor pendorong terbesar," kata David Dawe, ekonom senior di cabang FAO di Bangkok. Akses yang meluas terhadap aliran listrik dan teknologi pending membuat konsumen cendrung mengkonsumsi lebih banyak makanan.
Indonesia termasuk negara yang berpotensi besar mengalami lonjakan konsumsi daging dan makanan laut.
Sebab itu para peneliti mendesak produsen makanan untuk segera mengimplementasikan metode ramah lingkungan, antara lain dengan memanen air hujan, menggunakan pakan ternak yang didapat lewat produksi berkelanjutan, dan memproduksi biogas dari limbah ternak.
Sementara itu, regulator, investor, dan konsumen juga bisa menekan rantai restoran dan produsen untuk mengurangi penggunaan antibiotika pada makanan.
Sebab itu, penyedia makanan diminta lebih kreatif membuat sajian berbasis sayur-sayuran agar bisa diminati konsumen.
"Ada banyak penduduk di Asia yang tidak mengikuti pola makan seperti itu sehingga permintaan terhadap makanan berbasis hewani akan meningkat," kata Dawe dari FAO. "Di satu sisi pola makan ini baik untuk nutrisi, tapi di sisi lain juga menyebabkan masalah lingkungan."
https://sains.kompas.com/read/2018/09/05/111410023/demam-daging-dan-seafood-di-asia-bisa-bebani-lingkungan