Oleh
PADA April 2018, penelitian tentang orang Bajau di Indonesia telah menjadi berita utama. Suku yang dikenal sebagai “pengembara laut” ini ternyata memiliki adaptasi genetik yaitu limpa yang lebih besar sehingga dapat memasok oksigen lebih banyak pada sel darah merah.
Namun, sebulan kemudian, artikel itu menarik kritik dari para ilmuwan Indonesia. Sebuah artikel di Science mempertanyakan etika penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan dari Denmark dan Amerika Serikat.
Argumen para peneliti Indonesia menyangkut etika dan izin penelitian, namun kejadian ini juga mengangkat isu banyaknya “penelitian gaya heliopter” yang dilakukan di negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia.
"Penelitian gaya helikopter"
“Penelitian gaya helikopter” tidak ada hubungannya dengan kajian tentang kapal terbang. Sebutan “penelitian gaya helikopter” menggambarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari negara-negara kaya terbang ke negara berkembang seperti Indonesia.
Mereka mengambil sampel, meninggalkan Indonesia, menganalisis sampel di tempat lain, dan menerbitkan hasil penelitian dengan sedikit sekali melibatkan peneliti lokal. Paling banter, para ilmuwan lokal digunakan untuk mengatur logistik.
Penelitian helikopter tidak dihormati dalam penelitian genomik. Ilmuwan di Afrika menyerukan kontrol lebih banyak terhadap data genom benua mereka dengan menerbitkan pedoman. Akan tetapi, pedoman itu tidak berlaku untuk jenis penelitian lain.
Salah satu dari kami, Dian Fiantis, yang berbasis di Universitas Andalas, Padang, Sumatra Barat, memiliki banyak pengalaman kerja sama penelitian dengan para peneliti luar negeri. Dia telah bekerja sama dengan ahli tanah tanah dari Belgia, Malaysia, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia sejak 1993.
Bagi Dian, ada hubungan positif antara kolaborasi riset dan hasil penelitian. Kolaborasi dengan para ilmuwan ini meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian peneliti lokal, dan meningkatkan wawasan, keterampilan dan kemampuan ilmiah.
Kolaborasi memungkinkan para ilmuwan, baik dari negara berkembang maupun negara maju, untuk berbagi pengetahuan, keahlian, dan teknik. Kolaborasi juga mempercepat proses penelitian, dan meningkatkan visibilitas.
Namun ada saat-saat ketika sengat jelas bahwa peneliti internasional tidak tertarik untuk bekerja sama. Sebagai contoh, pada 2010 sekelompok peneliti ilmu tanah dari negara maju meminta Dian untuk membantu dan menemani mereka mengambil contoh tanah dari tanah sawah di Sumatra Barat.
Sejak awal, jelas bahwa para peneliti luar negeri ini hanya tertarik dengan kemampuan Dian untuk menentukan atau memilih lokasi yang sesuai untuk mengumpulkan sampel tanah. Dian mendapat publikasi internasional dari kegiatan ini, tapi sesungguhnya tidak terlibat dalam penelitian lanjutan di laboratorium.
Hasil penelitian ini memang dapat berkontribusi pada komunitas riset internasional; tapi itu tidak memberikan kontribusi ilmiah kepada peneliti lokal, dan temuan itu sendiri tidak berarti banyak bagi Indonesia karena hanya digunakan sebagai sebuah lokasi di daerah tropis.
Sejak itu Dian memutuskan untuk tidak berkolaborasi dengan ilmuwan internasional yang hanya tertarik untuk mengumpulkan sampel.
Penelitian kolonial
Kekayaan tropis dan ekosistem Indonesia yang unik serta kebudayaan Indonesia telah menarik penelitian kolonial sejak zaman pendudukan Belanda. Belanda melakukan penelitian murni dan terapan di bidang pertanian, ilmu tanah, kedokteran, fisika, biologi, dan disiplin ilmu lainnya.
Penerima manfaat utama dari penelitian tersebut adalah negara penjajah melalui peningkatan produksi komoditas ekonomi. Penelitian di daerah pendudukan mereka juga menjadi cara untuk menunjukkan kepada dunia keunggulan mereka dalam mengumpulkan pengetahuan.
Sejak kemerdekaan Indonesia, telah banyak proyek penelitian yang didanai pihak asing yang dilakukan di Indonesia. Sayangnya, banyak penelitian internasional melanjutkan metode model penelitian kolonial.
Penelitian neo-kolonialis ini dilakukan peneliti dari negara kaya yang memiliki akses terhadap pendanaan dan teknologi baru. Kebanyakan dari para peneliti ini berasumsi bahwa mereka berhak melakukan penelitian atas sumber daya negara lain atas nama sains.
Kita dapat dengan mudah mengidentifikasi penelitian gaya helikopter dari publikasi yang sebagian besar ditulis oleh peneliti internasional, dengan satu atau dua peneliti Indonesia di akhir daftar penulis. Sebagian besar penelitian internasional di Indonesia masuk pada kategori ini.
Beberapa ilmuwan lokal puas dengan pengaturan semacam ini. Namun, hasil penelitian sesungguhnya tidak membantu pengembangan pengetahuan riset Indonesia, ataupun komunitas dan infrastruktur penelitian di Indonesia.
Di bidang penelitian kami ilmu tanah, misalnya, kerusakan akibat kebakaran gambut beberapa tahun belakangan menarik banyak dana riset internasional untuk bekerja di Indonesia. Hasilnya, banyak makalah yang ditulis oleh para ilmuwan internasional dengan sedikit keterlibatan peneliti Indonesia.
Tampaknya bertahun-tahun penelitian belum memberi manfaat bagi ilmuwan dan masyarakat Indonesia yang membutuhkan solusi praktis untuk memetakan lahan gambut mereka, serta teknik manajemen air yang lebih baik.
Melakukannya dengan benar
Penelitian internasional harus melibatkan ilmuwan lokal dan membangun kapasitas penelitian mereka. Hasil penelitian harus diberikan kembali kepada masyarakat. Tapi dalam praktiknya, prinsip-prinsip seperti ini sering tidak dihormati.
Penelitian internasional seharusnya benar-benar merupakan kolaborasi sinergis yang yang menguntungkan semua pihak. Peneliti lokal tidak perlu dihargai hanya dengan dicantumkan sebagai salah satu penulis dari artikel ilmiah yang akan diterbitkan kalau tidak dilibatkan dalam penelitian.
Peneliti internasional jangan hanya melibatkan peneliti lokal untuk mendapatkan izin pemerintah dan logistik untuk penelitian. Ada kebutuhan untuk melatih mahasiswa pascasarjana atau peneliti muda untuk mengenal teknologi terbaru.
Peneliti asing hendaknya menawarkan kecanggihan teknologi, yang mungkin sulit didapatkan di Indonesia. Sangat penting untuk melibatkan ilmuwan Indonesia dalam menganalisis dan menerbitkan hasil penelitian.
Kolaborasi dalam penelitian harus memberi manfaat bagi peneliti lokal. Membangun hubungan positif semacam ini akan menunjukkan nilai nyata dalam kontribusi internasional.
Budiman Minasny
Professor in Soil-Landscape Modelling, University of Sydney
Dian Fiantis
Professor of Soil Science, Universitas Andalas
Catatan redaksi:
Artikel ini ditayangkan di Kompas.com atas kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Artikel di atas dikutip dari tulisan berjudul "‘Riset gaya helikopter’: siapa yang untung dari riset internasional di Indonesia?". Isi artikel di luar tanggung jawab redaksi Kompas.com.
https://sains.kompas.com/read/2018/08/31/200600623/riset-internasional-di-indonesia-siapa-yang-untung