MENYUSUL gempa bumi mematikan berskala magnitudo 6,4 pada 29 Juli 2018, Pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat kembali diguncang gempa dengan kekuatan magnitudo 7,0 pada Minggu (5/8/2018) malam.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana menghitung, setidaknya 82 orang meninggal dunia dan raturan luka-luka akibat tertimpa material bangunan yang robok akibat guncangan. Sebelum gempa besar terkini, setidaknya hampir 500 gempa kecil terjadi pasca-guncangan 29 Juli.
Kejadian ini mengingatkan pada gempa besar Tohoku di Jepang pada 2011 silam. Saat itu gempa dengan magnitudo 9,0 menghantam pantai timur Jepang. Beberapa hari sebelumnya gempa-gempa dengan kekuatan yang lebih kecil datang berkali-kali.
Setelah mainshock atau gempa utama, terjadi gempa-gempa kecil dengan kekuatan yang semakin menurun dan akhirnya benar-benar berhenti karena Bumi telah mencapai kestabilannya.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa gempa 5 Agustus di Lombok kemarin adalah gempa utama. Belajar dari pengalaman gempa Tohoku, semoga sesudah gempa utama di Lombok tidak ada lagi gempa besar yang akan terjadi.
Di dekat titik gempa Lombok terdapat beberapa gunung api aktif, yakni Gunung Rinjani di Lombok, Gunung Agung di Bali, dan Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat.
Bagaimana dengan efek gempa besar dan gempa-gempa susulan bagi gunung api aktif di sekitar Pulau Lombok?
Gempa tektonik
Gempa tektonik adalah jenis gempa yang disebabkan oleh pergeseran lempeng-lempeng Bumi sehingga umumnya terjadi di batas antar-pertemuan lempeng yang berinteraksi.
Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng utama. Lempeng Eurasia di bagian utara, kemudian Lempeng Indo-Australia yang menyusup di bawah Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik dan Filipina di Timur.
Pergerakan lempeng-lempeng tersebut menyebabkan terjadinya penimbunan energi secara perlahan-lahan. Ketika akumulasi energi tersebut dilepaskan dengan tiba-tiba, maka itulah yang disebut dengan gempa tektonik.
Pertemuan tiga lempeng utama tersebut terjadi di Indonesia, maka tidak heran bila negeri ini menjadi kaya akan gempa.
Untuk menjawab seberapa jauh gempa tektonik berdampak pada sebuah gunung api, kejadian gempa tektonik yang pernah terjadi di Indonesia ataupun gunung api lainnya di dunia bisa dijadikan catatan dan pembelajaran.
Kasus Gunung Agung
Pada Selasa, 3 Juli 2018 pukul 09.32 Wita, Gunung Agung di Bali kembali mengeluarkan abu vulkanik. Beberapa menit sebelumnya, gempa tektonik bermagnitudo 4,9 terjadi di laut pada jarak 110 kilometer di selatan Denpasar dengan kedalaman 24 km.
Gempa tektonik di sekitar gunung api yang kritis, yaitu sebuah gunung api dalam status siaga atau awas–-ditunjukkan ada peningkatan aktivitas seperti gempa vulkanik, keringnya mata air, peningkatan pelepasan gas maupun letusan-letusan kecil-–dapat memengaruhi aktivitas gunung api.
Dalam keadaan kritis, gas terlarut ataupun volume magma yang sangat banyak sangat mudah dikeluarkan jika diberi pemantik, seperti halnya gempa bumi.
Kasus Gunung Fuji
Mari kita lihat contoh di belahan dunia lain, bagaimana gempa tektonik pernah tercatat menyebabkan sebuah gunung api meletus.
Gunung Fuji di Jepang dikenal begitu indah karena puncaknya ditutupi salju dan dijadikan ikon masyarakat Jepang. Gunung ini pernah menyimpan cerita kelam beberapa abad lalu, yang mungkin tidak banyak diketahui oleh orang awam.
Pada 28 Oktober 1707, sebuah gempa besar berkekuatan 8,6 menghajar pantai Jepang sepanjang Nakai Megathrust, barat daya Jepang.
Ini adalah salah satu gempa terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah Jepang yang memakan korban hingga lebih dari 5.000 jiwa. Kekuatan gempa tersebut baru bisa dikalahkan oleh gempa Tohoku pada 2011.
Penelitian dari Christine Chesley dan kawan-kawan (2012) mencatat bahwa gempa tektonik pada 20 Oktober 1707 telah menyebabkan magma di bawah Gunung Fuji, yang terletak pada kedalaman sekitar 20 km, tertekan dan bergerak naik menuju dapur magma yang lebih dangkal pada kedalaman sekitar 8 km.
Sayangnya, tidak ada tempat yang cukup bagi kedua mamgma yang bersatu tersebut sehingga kelebihan volume ini pun menyebabkan letusan Gunung Fuji dengan Volcanic Explosivity Index 5.
Ada yang menarik dari letusan saat itu. Letusan tersebut dicirikan oleh keluarnya material yang hanya terdiri dari abu vulkanik tanpa dibarengi keluarnya meterial pijar lava. Kondisi ini sebagai penanda bahwa telah terjadi perubahan tekanan dalam dapur magma Gunung Fuji yang terjadi dengan sangat tiba-tiba.
Berkaca pada kasus Gunung Fuji, maka letusan Gunung Agung di Bali pada 3 Juli 2018 pascagempa tektonik pun menyajikan fenomena letusan yang sama, yakni lontaran material vulkanik berupa abu tanpa diikuti keluarnya aliran lava.
Gunung Fuji dan Gunung Agung berada dalam kondisi kritis sebelum gempa tektonik itu terjadi sehingga, baik letusan Gunung Fuji pada 1707 ataupun Agung pada 2018, adalah contoh kasus sebuah erupsi gunung api yang kritis bisa dipicu oleh gempa tektonik.
Bagaimana dengan Rinjani dan Tambora?
Gempa tektonik tidak selalu menyebabkan gunung api meletus. Jikapun letusan terjadi, kondisi sebuah gunung api harus dalam kritis. Jika sebuah gunung api dalam keadaan normal atau stabil, gempa tektonik biasa tidaklah cukup menyebabkan suatu gunung api meletus.
Gempa tektonik akan mengguncang, memperburuk kondisi, dan akhirnya memberikan jalan keluar bagi magma ke permukaan saat kondisi sudah melampui batas kestabilannya.
Rinjani dan Tambora yang secara posisi geografis lebih dekat dengan pusat gempa tektonik di Pulau Lombok kemarin dibandingkan Agung, sepertinya akan bergeming karena keduanya dalam keadaan stabil. Semoga.
Mirzam Abdurrachman
Lecturer at Department of Geology, Faculty of Earth Sciences and Technology, Institut Teknologi Bandung
Catatan Redaksi:
Artikel ini ditayangkan di Kompas.com atas kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Isi artikel dikutip dari artikel berjudul "Apakah gempa di Lombok bisa pengaruhi aktivitas gunung api di sekitarnya?". Isi di luar tanggung jawab redaksi Kompas.com
https://sains.kompas.com/read/2018/08/06/161334223/bagaimana-pengaruh-gempa-lombok-terhadap-gunung-api-di-sekitarnya