Studi yang dipimpin Matthias Garschagen, Kepala Institut Lingkungan dan Keamanan Manusia di Universitas PBB, Bonn, menyelidiki kondisi kehidupan masyarakat dan persepsi mereka tentang panas ekstrem.
Penelitian ini bertujuan mencari solusi agar manusia bisa beradaptasi dengan suhu panas, lewat 800 penduduk kota Bonn yang dilibatkan.
Negara-negara bersuhu lebih dingin, terkena dampak
Walaupun suhu panas yang ekstrem tidak menjadi fenomena yang biasa diasosiasikan dengan negara-negara Eropa Utara seperti Jerman, yang suhunya bisa sangat rendah di musim dingin, kawasan itu juga terkena dampak meningkatnya suhu bumi.
Tahun 2003, sekitar 7.000 orang meninggal di Jerman akibat gelombang panas yang menyapu Eropa. Sejak saat itu gelombang panas meninggalnya sekitar 70.000 orang meninggal.
Walaupun beberapa hari di mana suhu udaranya tinggi tidak tampak berbahaya, bagi orang-orang yang dalam kondisi rentan, misalnya orang-orang berusia lanjut, orang sakit, orang miskin, perempuan hamil dan anak balita, itu bisa fatal.
"Salah satu risiko selama berlangsungnya gelombang panas adalah, banyak orang tidak sepenuhnya mengerti bahaya suhu tinggi," kata Garschagen.
Ia mengatakan, memang orang tahu bahwa suhu tinggi harus ditanggapi dengan serius, tapi di lain pihak, jika dikemukakan bahwa ekspektansi suhu tinggi seharusnya mengubah tingkah laku orang, tanggapan masyarakat tidak positif.
Kota-kota memerangi "efek pulau panas'
Gelombang panas jadi tren serius terutama di perkotaan yang suhunya meningkat lebih cepat daripada di tempat lain. Salah satu faktornya adalah "efek pulau panas".
Menurut Garschagen, "efek pulau panas" muncul karena kebanyakan kawasan perkotaan tertutup aspal dan beton, sehingga tidak bisa menyimpan air seperti tanah pada umumnya.
Menurut studi C40, yaitu organisasi yang berfokus pada kawasan perkotaan, diperkirakan tahun 2050, lebih dari 970 kota akan menghadapi suhu panas rata-rata hingga 35 derajat. Saat ini, hanya sepertiga dari angka tersebut yang merasakan suhu ekstrem tersebut.
Tim Garschagen pun memprediksi, akan ada lebih dari dua pertiga populasi dunia hidup di perkotaan pada 2050 mendatang. Ini artinya, jumlah orang yang terkena imbas panas ekstrem akan meningkat secara dramatis. Sekitar 90 persen perpindahan ke perkotaan akan terjadi di Asia dan Afrika.
Bagaimana beradaptasi dengan gelombang panas?
Agar bisa beradaptasi dengan perubahan cuaca yang drastis, banyak kota memerlukan perencanaan kawasan perkotaan yang ekstensif.
Garschagen mengatakan, ini bisa mencakup perubahan materi yang digunakan dalam pembangunan, juga menambah lebih banyak pohon, menyediakan lahan untuk taman di perkotaan, dan membuat koridor udara segar.
Tapi ia juga memperingatkan bahwa melaksanakan perubahan ini bukanlah tugas mudah.
Perencanaan kawasan perkotaan adalah solusi teknis yang bisa dilaksanakan, namun masalah utama adalah bernegosiasi dengan warga kota agar mau menerima perubahan.
Sejumlah penelitian bisa jadi petunjuk, bahwa di sejumlah bagian dunia, yaitu di Asia Selatan, Teluk Persia dan Australia bisa jadi tidak bisa dihuni akibat suhu yang kian bertambah.
Setelah para peneliti dari Universitas PBB mengumpulkan semua data yang mereka butuhkan, mereka akan merumuskan tren, sejauh mana masyarakat kawasan perkotaan memahami dan bereaksi terhadap suhu tinggi yang ekstrim.
Mereka berharap bisa mempersiapkan orang dengan lebih baik untuk masa depan yang mungkin lebih panas.
https://sains.kompas.com/read/2018/07/30/170000023/970-kota-di-seluruh-dunia-hadapi-suhu-ekstrem-pada-2050-ini-solusinya