Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pembangunan PLTU Celukan Bawang II Ditentang, Ada Apa?

KOMPAS.com – Pembangunan PLTU Celukan Bawang II di Bali, mendapatkan respons negatif dari beberapa komunitas.

Menurut ahli polusi udara Greenpeace, Lauri Myllivirta, ekspansi PLTU Celukan Bawang dapat membahayakan ekosistem di sekitarnya, termasuk manusia.

Ia menuturkan emisi dari PLTU Celukan Bawang I diperkirakan akan menyebabkan 190 kematian dini dan 70 kelahiran dengan berat rendah setiap tahunnya.

Jika PLTU ini beroperasi selama 30 tahun, maka jumlah total kematian selama masa operasi PLTU tersebut sekitar 7.000 jiwa.

Lebih lanjut ia jelaskan, ekspansi PLTU Celukan Bawang II akan meningkatkan dampak kesehatan kumulatif selama masa operasi 30 tahun menjadi 19.000 kematian dini tiap tahunnya.

“Di Asia Tenggara, tiap tahun ada 20.000 kematian dini yang disebabkan oleh PLTU batu bara. Jika ini diteruskan dan PLTU batu bara tetap dibangun, diestimasikan kematian dini meningkat menjadi 70.000 kematian dini tiap tahunnya di Asia Tenggara,” tegasnya ketika ditemui pada diskusi publik, Kisah dari Utara Bali, pada Senin, (16/07/2018) di Jakarta.

Penolakan ini didasari oleh PLTU tidak memberikan sosialisasi perihal dampak apa yang akan terjadi ketika beroperasi.

“Tidak ada data informasi sama sekali tentang jumlah emisi yang akan dikeluarkan. Tidak ada informasi pemodelan tentang dampaknya pada kualitas udara. Tidak ada informasi tentang dampak merkuri,” jelas Lauri.

Dampak Emisi PLTU pada Manusia

Lauri menyoroti efek negatif merkuri yang dihasilkan dari PLTU pada kesehatan masyarakat sekitar. Menurut dia, PLTU menghasilkan merkuri yang dapat mengendap di dalam tanaman yang dikonsumsi warga sekitar sehingga dapat menyebabkan infeksi paru-paru dan serangan jantung.

Menurut Sonia dari Bali Fokus, dampak dari emisi pembangkit listrik ini juga dapat memengaruhi tumbuh kembang anak sekitar PLTU dan meningkatkan kemungkinan cacat lahir.

Ia menambahkan, dampak dari merkuri yang dihasilkan PLTU sulit untuk dihilangkan dalam rentang waktu singkat.

Sonia mencontohkan dengan kasus penyakit Minamata yang pernah menerpa Jepang.

“Minamata, penyakit yang penyebabnya merkuri. Jadi, di jepang tahun '50-an akhir ada perusahaan yang merkurinya tumpah ke laut dalam jumlah banyak. Efeknya, penduduk di sana terkena penyakit yang menyerang saraf. Bahkan sampai sekarang tetap ada korban baru. Jadi ini menunjukkan kalau merkuri itu bertahan bertahun-tahun,” ungkapnya.

Dampak emisi PLTU pada ekosistem sekitar

Pantai Lovina yang berjarak 20-30 kilometer dari PLTU Celukan Bawang juga menjadi kekhawatiran lain bagi Lauri.

Hal ini karena aliran air menuju pantai akan sangat dipengaruhi oleh endapan merkuri dan logam berat lainnya, seperti arsenik, nikel, krom, dan timbal.

Ia menambahkan, zat beracun ini akan mengganggu kesehatan populasi lumba-lumba di wilayah tersebut.

Sebagai predator yang berada pada puncak rantai makanan akuatik, lumba-lumba sangat dipengaruhi oleh zat beracun yang terakumulasi di sepanjang rantai makanan tersebut.

“Kalau batu bara dibakar, merkuri keluar dari cerobong. Kalau merkuri keluar dari cerobong, terutama kalau hujan, merkuri bisa mengendap ke tanah kemudian ke laut. Kalau sampai ke laut bisa terakumulasikan di dalam tubuh ikan,” kata Lauri.

https://sains.kompas.com/read/2018/07/19/190700623/pembangunan-pltu-celukan-bawang-ii-ditentang-ada-apa-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke