KOMPAS.com - Delapan badak hitam baru-baru ini tewas setelah direlokasi. Para petugas satwa liar Kenya berencana memindahkan 14 badak hitam dari Nairobi ke Tsavo East National Park yang berjarak 402 kilometer.
Tapi, baru 11 badak hitam yang dipindahkan sudah 8 tewas.
Relokasi tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk melindungi spesies itu dari para pemburu. Harapannya, dengan relokasi ini populasi badak hitam kembali tumbuh.
Sayangnya, tidak sampai setengah dari jumlah badak yang direlokasi tersebut yang bisa bertahan hidup.
Hal ini menjadi pukulan berat bagi spesies yang terancam punah tersebut.
Investigasi awal menunjukkan bahwa kedelapan badak itu mengalami keracunan garam.
Menurut Menteri Pariwisata dan Satwa Liar negara tersebut, Najib Balala, ini terjadi karena mereka harus beradaptasi dengan air berkadar garam lebih tinggi dari pada habitat asli mereka.
Kasus ini membuat relokasi tiga badak hitam terakhir ditangguhkan.
Tujuan Relokasi
Sebenarnya, tujuan relokasi badak ini sangat penting bagi generasi mendatang.
Badak mulai tumbuh di habitatnya di Nairobi. Namun, kepadatan penduduk yang lebih tinggi di wilayah tersebut membuat penyebaran penyakit lebih masif untuk para bdak hitam.
Itu juga membuat tingkat perkembangbiakan badak hitam terus menurun.
Jumlah satwa liar Afrika telah menurun drastis karena perburuan dan hilangnya habitat. Hal ini membuat para pelestari lingkungan dan pemerintah mengambil jalan translokasi.
Harapannya, memulihkan populasi di tempat-tempat terpencil di mana mereka mungkin lebih terlindungi dari ancaman yang mendorong mereka ke jurang di tempat lain.
Tidak Dibenarkan
Meski punya tujuan mulia, tapi sebuah penelitian tahun 2012 menemukan bahwa sebagian besar upaya translokasi "tidak dapat dibenarkan dari perspektif konservasi".
Apalagi jika hal tersebut tidak direncanakan dengan baik unruk menjamin kelangsungan hidup spesies ini.
Pada 2015, para peneliti juga mengkritik upaya relokasi hewan, terutama jika menempatkan mereka pada habitat yang salah.
"Translokasi sebagai alat regulasi mungkin tidak sesuai secara biologis mengurangi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pembangunan," ungkap Jennifer Germano, penulis utama studi tersebut dikutip dari Newsweek, Jumat (13/07/2018).
Hal ini juga berlaku pada relokasi badak hitam pada bulan Juni lalu.
"Memindahkan badak merupakah hal yang rumit dan berisiko, mirip dengan memindahkan emas batangan. Perlu perencanaan yang sangat hati-hati dan keamanan karena nilai dari hewan langka ini," ujar Paula Kahumbu, kepala pelaksana kelompok konservasi Wildlife Direct dikutip dari Washington Post, Sabtu (14/07/2018).
"Saya takut memikirkan penderitaan yang ditanggung oleh hewan-hewan malang ini sebelum mereka meninggal. Kita perlu tahu apa yang salah sehingga itu tidak akan terjadi lagi," sambungnya.
Terkait hal itu, Balala mengatakan kadar garam yang tinggi dalam air di "rumah baru" badak bisa menyebabkan dehidrasi yang menyebabkan mereka minum lebih banyak.
"(Itu) menghasilkan kelebihan air dari air garam yang semakin memperparah masalah," ujarnya.
Namun dia telah memerintahkan penyelidikan internal dan eksternal untuk menentukan penyebab pasti kematian 8 badak hitam tersebut.
Balala juga menambahkan, "tindakan disipliner" akan diambil jika probe mengarah ke kelalaian atau kesalahan oleh petugas Satwa Liar Kenya.
Sebagai informasi, populasi badak hitam Kenya turun selama tahun 1970-an dan 1980-an dari 20.000 menjadi sekitar 250. Menurut WWF, saat ini hanya tersisa sekitar 650.
Turunnya populasi ini dikarenakan badak hitam ditargetkan oleh pemburu untuk cula mereka, yang sangat didambakan di Asia, khususnya di Vietnam.
https://sains.kompas.com/read/2018/07/15/170000023/8-badak-hitam-mati-di-kenya-apa-sebabnya-