Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pelajaran untuk Kita, Seorang Remaja AS Meninggal karena Tampon

Menurut pemberitaan media lokal Kanada, Comox Valley Record, seorang remaja berusia 16 tahun tiba-tiba mengeluh tidak enak badan dan mengalami kram saat dalam perjalanan karya wisata ke Pulau Hornby, Kanada. Kejadian ini terjadi pada Maret 2017.

Keesokan paginya, dia melewatkan sarapan dan ditemukan tidak responsif di tempat tidurnya.

Saat petugas medis mendatangi lokasi kejadian, ia sudah dalam keadaan meninggal dunia. Saat itu, mereka juga menemukan tampon.

Setelah tampon tersebut diteliti, tim dokter menjelaskan bahwa tampon itu positif mengandung bakteri Staphylococcus aureus, patogen yang terkait dengan sindrom syok toksik atau Toxic shock syndrome (TSS).

Comox Valley Records melansir dari keterangan resmi hasil koroner yang dikeluarkan baru-baru ini, menuliskan bahwa patogen bakteri tersebut diduga kuat menjadi penyebab kematiannya.

Menurut ahli dari klinik Cleveland, Toxic shock syndrome (TSS) sebetulnya jarang terjadi, namun kondisi ini sangat berbahaya dan mengancam jiwa karena adanya racun yang dihasilkan oleh bakteri S. aureus atau bakteri tertentu lainnya.

Bakteri tersebut hidup di kulit manusia atau selaput lendir di tubuh, tanpa menyebabkan gejala. Dalam kondisi tertentu, bakteri dapat berkembang biak dengan cepat dan mengeluarkan racun.

TSS dan tampon

Menurut ahli, tampon dengan daya serap tinggi merupakan tempat ideal bagi berkembangnya bakteri. Apalagi tampon yang sudah tidak layak dipakai.

"Ini hampir seperti cawan petri," kata Dr. Michael Cackovic, seorang spesialis Pusat Medis Kesehatan Ibu dan Janin di The Ohio State University Wexner Medical Center yang tidak terlibat dalam kasus kematian remaja di Kanada.

Setelah produksi tampon dengan daya serap tinggi dihapus, jumlah kasus TSS yang menyerang perempuan saat sedang mengalami menstruasi menurun. Meski belum sepenuhnya hilang.

"Saat ini, tingkat kasus TSS pada wanita yang menstruasi adalah sekitar 1 dari 100.000 wanita," kata Cackovic kepada Live Science, dilansir Jumat (29/6/2018).

Berdasarkan data dari Cleveland Clinic, TSS paling sering terjadi pada wanita berusia 15 hingga 25 tahun yang menggunakan tampon.

Cackovic mengatakan, wanita muda cenderung lebih memiliki antibodi terhadap S. aureus dibandingkan dengan wanita yang lebih tua. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa wanita muda memiliki tingkat yang lebih tinggi dari sindrom tersebut.

Sementara itu, para ahli mengingatkan, tampon bukan satu-satunya penyebab TSS dan tidak hanya menyerang perempuan saja.

Kaum pria, anak-anak, serta wanita dalam masa pasca-menopause juga rentan terkena TSS.

Menurut National Institutes of Health (NIH), faktor lain yang bisa menyebabkan TSS adalah infeksi kulit, luka bedah, luka bakar, melahirkan dan penggunaan kemasan untuk menghentikan mimisan.

Namun, saat ini setengah dari kasus TSS dialami oleh perempuan yang sedang menstruasi.

Gejala dan pencegahan TSS

Gejala TSS biasanya tidak terduga, mirip ketika kita terserang flu, yaitu termasuk demam tinggi secara mendadak dan menggigil, mual atau muntah, diare dan pusing.

Menurut NIH, TSS juga dapat menyebabkan ruam di kulit mirip dengan sengatan sinar Matahari.

Apabila terjadi komplikasi yang serius maka dapat terjadi kerusakan organ, seperti gagal ginjal dan hati bahkan kematian, kata ahli dari NIH.

Untuk mencegah TSS, Cleveland Clinic menyarankan untuk mengganti tampon setidaknya setiap 4 hingga 8 jam atau menggunakan tampon dengan daya serap rendah saat menstruasi.

Ahli lebih menyarankan untuk menggunakan pembalut daripada tampon setiap hari atau selama masa menstruasi paling deras.

https://sains.kompas.com/read/2018/07/03/112600223/pelajaran-untuk-kita-seorang-remaja-as-meninggal-karena-tampon

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke