Migrain adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan serangan sakit kepala sebelah.
Tim peneliti dari Pusat Kesehatan Universitas Leiden, Belanda, mengatakan studi ini adalah tindak lanjut dari penelitian sebelumnya.
Studi sebelumnya menyebut perubahan dalam hormon seks wanita dapat memicu munculnya migrain atau tingkat serangan yang lebih berat. Inilah yang membuat wanita tiga kali lebih mungkin mengalami migrain saat masa subur.
Diyakini hormon seks wanita dapat membuat otak rentan terhadap gelombang sinyal sel listrik (CSD) dan neuron sensorik yang terlalu aktif melilit pembuluh darah otak di kepala, rahang, dan leher. Kedua hal itu merupakan ciri khas patogenesis migrain.
Sayang, belum ada studi yang meneliti keterkaitan hormon seks pria dengan gejala migrain.
"Penelitian sebelumnya membuktikan kadar estrogen dapat memengaruhi migrain pada wanita dan tingkat keparahannya. Namun, tidak ada literatur yang membahas apakah hormon seks juga memicu migrain pada pria," kata Dr W.P.J. Van Oosterhout, penulis sekaligus pemimpin penelitian dilansir Medical Express, Rabu (27/6/2018).
Untuk itu, Van Oosterhout dan timnya melibatkan 17 pria berusia rata-rata 47 tahun yang kerap dilanda migrain, sedikitnya tiga kali dalam sebulan. Untuk variabel kontrolnya, mereka melibatkan 22 pria sehat yang tidak pernah mengalami migrain.
Para partisipan diketahui tidak mengonsumsi obat yang dapat memengaruhi kadar hormon. Mereka pun memiliki berat badan ideal, sesuai usia dan indeks massa tubuh.
Setiap tiga jam sekali, para peneliti mengambil sampel darah para responden. Dalam satu hari, ada empat sampel darah yang diambil, untuk mengukur kadar estradiol, estrogen, dan testosteron.
Bagi peserta yang memiliki migrain, sampel darah pertama diambil saat peserta tidak mengalami migrain, setelah itu setiap hari sampai ia mengalami migrain.
Dari sinilah ahli menemukan, pria dengan tingkat estrogen yang tinggi akan mengalami migrain.
"Kami menemukan tingginya kadar estrogen dan kadar testosteron yang rendah akan memengaruhi migrain," imbuhnya.
Sebagai perbandingan, saat migrain tingkat estrogennya 97 psikomoles per liter (pmol/L), sementara pria yang tidak mengalami migrain tingkat estrogennya 69 pmol/L.
Tim juga menemukan ada perbedaan dalam kadar testosteron. Saat kadar estrogen tinggi, kadar testosteron akan turun. Perbandingannya, 3,9 untuk pria yang migrain dan 5,0 untuk yang tidak migrain.
Tingkat testosteron meningkat 24 jam sebelum migrain, di mana gejalanya meliputi kelelahan, otot kaku, dan mengidam makanan.
Para peserta mengaku saat migrain datang, maka akan muncul gejala suasana hati yang buruk, kurang bertenaga, dan tidak bergairah dalam berhubungan seksual. Gejala itu tidak lain berkaitan dengan turunnya kadar testosteron.
Sebanyak 61 persen pria yang memiliki migrain melaporkan hal itu.
Dari penelitian ini kita memang mendapat penelitian baru. Namun, Van Oosterhout menegaskan masih perlu adanya studi lebih lanjut dengan subjek penelitian yang lebih banyak agar hasilnya lebih akurat.
"Masih diperlukan adanya penelitian lebih lanjut dengan populasi yang lebih besar untuk memvalidasi temuan kami," kata Van Oosterhout.
"Peran estrogen pada pria memicu munculnya migrain seperti halnya wanita. Ini perlu diselidiki lagi," tegasnya.
https://sains.kompas.com/read/2018/07/02/134123023/kadar-estrogen-alasan-di-balik-pria-sering-migrain