Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Benarkah Lipstik Jadi Ancaman Kehidupan Orangutan dan Spesies Lainnya?

Pizza, biskuit, dan perawatan kecantikan adalah sebagian dari ribuan produk yang mengandung minyak kelapa sawit.

Seperti kita tahu, banyak hutan ditebang dan digantikan dengan kebun kelapa sawit. Habitat spesies penting hilang, artinya kehidupan mereka di alam liar semakin terancam.

Sebuah studi terbaru juga mengungkap, penanaman minyak alternatif dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi mahluk hidup.

Mengapa cerita ini penting?

Minyak kelapa sawit sering kali dipandang sebagai perusak lingkungan yang menyebabkan penggundulan hutan tropis dan mengancam sejumlah spesies penting.

Namun ada kenyataan yang lebih rumit.

Meskipun kelapa sawit hanya menyebabkan 0,4 persen deforestasi dunia, hal ini membawa pengaruh besar di sejumlah tempat seperti Indonesia dan Malaysia karena menyebabkan kerusakan sampai 50 persen di beberapa daerah.

Pelarangan kelapa sawit tidak akan berguna selama dunia masih memerlukan minyak dari tumbuhan, kata penulis laporan.

Sejumlah usaha untuk meningkatkan permintaan minyak kelapa sawit yang bertanggung jawab juga masih belum berhasil.

Bagaimana lipstik mengancam spesies?

Minyak kelapa sawit adalah minyak asal tumbuhan yang paling banyak dipakai di bumi dan diyakini ada sekitar 50 persen dari semua produk di supermarket dan toko-toko lainnya yang menggunakan bahan ini.

Produk-produk di pasaran mengambil minyak merah dari buah kelapa sawit, terutama dari kelapa sawit Afrika, Elaeis guineensis.

Elaeis guineensis paling banyak tumbuh di daerah Indonesia dan Malaysia. Dalam dunia bisnis, ada puluhan juta ton kelapa sawit yang diperjualbelikan dengan nilai sekitar Rp 567 triliun setiap tahunnya.

Dalam pembuatan lipstik, minyak kelapa sawit berguna untuk mempertahankan warna, membuat hambar, dan mempertahankan bentuk agar tidak meleleh saat berada di suhu tinggi.

Selain lipstik, minyak kelapa sawit juga terkandung di dalam produk sampo, sabun, es krim, dan juga mie instan.

Tak heran, dalam 20 tahun terakhir permintaan minyak kelapa sawit meningkat tajam  dan menyebabkan ribuan hektar hutan tropis tua ditebang untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Padahal hutan merupakan tempat tinggal sejumlah spesies yang terancam kehidupannya, termasuk orangutan.

"Orangutan adalah spesies yang tinggal di dataran rendah di pulau Kalimantan, di mana kelapa sawit ditanam," kata penulis laporan Erik Meijaard, dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) kepada BBC.

"Keduanya sering kali bentrok, minyak kelapa sawit menggusur orangutan. Orangutan tersudut ke pemukiman penduduk, kemudian terjadi konflik antara orangutan dengan penduduk setempat, yang akhirnya membuat mereka terbunuh."

"Orangutan punya banyak akal, tapi mereka tidak bisa mengatasi konflik. Mereka adalah spesies dengan tingkat perkembangbiakan yang sangat lambat, pembunuhan itu sangat berpengaruh."

Meskipun begitu, laporan ini mengungkapkan perluasan minyak kepala sawit tidak selamanya buruk bagi berbagai spesies. Babi dan ular diuntungkan dengan adanya ranting dan daun.

Apakah mengurangi penanaman minyak kelapa sawit bisa jadi jalan keluar?

Para ahli IUCN mengungkap pandangan berbeda.

Kelapa sawit merupakan 35 persen dari pasokan minyak tumbuhan dunia, tetapi hanya menggunakan 10 persen lahan untuk menghasilkan minyak tersebut.

Untuk menggantikannya dengan kacang kedele atau minyak biji bunga matahari berarti akan lebih banyak menggunakan lahan, bahkan kemungkinan sembilan kali yang dibutuhkan kelapa sawit.

Kemungkinan besar langkah seperti ini akan menyebabkan pemindahan kehilangan keanekaragaman, di mana semakin banyak spesies di tempat yang berbeda menjadi terancam.

"Jika kelapa sawit tidak ada, Anda tetap akan menghadapi permintaan minyak tumbuhan yang sama di dunia," kata Erik Meijaard.

"Jika Anda berhenti menghasilkan kelapa sawit, hal itu akan diproduksi di tempat lain. Jadi Anda tidak menyakiti orang utan, tetapi beruang yang akan menderita. Ini hanya akan memindahkan masalah ke tempat lain karena permintaan minyak tersebut selalu ada."

Bukankah pemerintah Indonesia dan Malaysia berusaha menghentikan produksi minyak kelapa sawit yang membunuh spesies?

Betul, terdapat sejumlah usaha mencoba mengidentifikasi wilayah hutan di Malaysia dan Indonesia demi keanekaragaman dan melindung dari pihak-pihak yang menginginkan keuntungan dari kelapa sawit.

Tetapi langkah tersebut, menurut laporan ini, tidak terlalu menguntungkan jika dibandingkan melanjutkan bisnis seperti biasanya.

"Kami mengamati perbedaan tingkat deforestasi antara perkebunan berizin dan yang tidak berizin di Kalimantan. Kami tidak menemukan perbedaan yang besar," kata Erik Meijaard.

"Saya memang tidak memperkirakan perbedaan yang besar karena ini suatu hal yang cukup baru, diperlukan waktu untuk menyempurnakannya, juga diperlukan permintaan konsumen yang memerlukan minyak kelapa sawit berkelanjutan."

Bagaimana dengan minyak kelapa sawit berkelanjutan?

Berbagai usaha telah dilakukan lewat kepemimpinan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Tetapi kajian baru ini menyatakan langkah tersebut dibatasi rendahnya permintaan, kesulitan menemukan produk berkelanjutan dan keburukan pengawasan, pelaporan dan pengujian.

RSPO menyatakan pihaknya selalu berusaha memperkuat standar tetapi hal ini sulit dilakukan jika "dukungan masyakarat luas tidak ada".

Para pegiat mempertanyakan berbagai langkah ini.

"RSPO bertanggung jawab untuk memastikan anggota melindungi hutan tropis dan menghasilkan minyak kelapa sawit secara bertanggung jawab, tetapi usaha ini mengalami kegagalan," kata Richard George dari Greenpeace UK.

"Jika RSPO ingin memiliki masa depan, mereka harus menerapkan standar "larangan deforestasi, lahan gambut, penyalahgunaan" dan memastikan penerapannya secara tegas."

https://sains.kompas.com/read/2018/07/01/210300723/benarkah-lipstik-jadi-ancaman-kehidupan-orangutan-dan-spesies-lainnya-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke