KOMPAS.com - Seharusnya manusia bisa hidup berdampingan secara wajar dengan ular. Namun mengapa kembali terjadi peristiwa seekor ular sanca atau piton menelan utuh seorang manusia dewasa?
"Manusia sebetulnya bukan mangsa ular," kata Herna Hadi Prasetyo, dari lembaga penanganan ular, Sioux Indonesia.
"Namun kasus seperti di Muna (Sulawesi Tenggara) itu terjadi, karena rusaknya habitat ular. Pembukaan lahan baru membuat tempat tinggal ular makin sempit yang tadinya merupakan daerah jelajah atau mencari makanan bagi ular berganti menjadi lahan atau permukiman," katanya pula.
Hari Jumat (14/06) lalu, Wa Tiba, jasad seorang perempuan usia 54 tahun di Muna, Sulawesi Tenggara, ditemukan dalam tubuh seekor ular sanca sepanjang tujuh meter.
Sebelumnya, di Mamuju, tahun lalu, seorang lelaki ditelan ular dari jenis yang sama, dengan besar yang kurang lebih sama juga.
Herna menyebut, sejauh ini ular yang menelan manusia di Indonesia, jenisnya sama, ular sanca kembang (Python reticulatus).
Jenis ular ini ada di hampir seluruh wilayah Indonesia, kecuali di Papua. Itu karena dulunya daratan Papua terhubung dengan Australia, karenanya flora dan faunanya lebih mirip dengan yang ada di Australia.
Mereka memangsa mamalia ukuran besar, yang bisa 10 kali lebih besar dari ukuran mulut mereka, kata Herna.
Ular pada dasarnya tidak bisa membeda-bedakan sasaran, melainkan menyergap mangsanya dengan sensor panas.
"Habitat hewan mulai dirambah, mamalia kecil maupun besar tersingkir atau jadi lebih terbatas untuk jadi makanan ular," kata Herna.
"Nah, ketika hewan mangsa mereka entah di mana, yang muncul adalah manusia, mereka menyerang," sambungnya.
Memangsa Manusia
Ular sanca kembang (Python reticulatus) - yang memangsa Wa Tiba dilaporkan panjangnya tujuh meter, merupakan ular yang sangat kuat.
Mereka melumpuhkan lawan atau mangsa dengan melilitnya, dan menghancurkannya, membunuhnya sampai mati lemas atau menderita serangan jantung.
Namun memakan mangsanya adalah masalah lain.
Ular sanca tidak mengunyah makanan mereka, mereka harus menelan utuh mangsanya.
Mereka bisa menelan mangsa bulat-bulat karena rahangnya dihubungkan oleh berbagai ligamen yang sangat fleksibel. Ini membuat rahangnya mampu meregang jika memakan mangsa dalam ukuran besar.
"Faktor yang membatasi adalah tulang belikat manusia karena mereka tidak bisa dilipat," ujar Mary-Ruth Low, staf konservasi & riset dari lembaga Wildlife Reserves Singapore sekaligus pakar ular piton.
Menurut Herna, ular sanca biasanya menanti di atas pohon. Ketika mangsanya lewat, ia akan menjatuhkan diri lalu membelitnya.
Tapi sesekali mereka bisa bernasib nahas. Seperti yang dialami seekor ular di Riau, Oktober tahun lalu: orang yang diserangnya bisa melawan.
Akhirnya, ular sanca itu yang terbunuh dan jadi santapan warga desa.
Memangsa Hewan Besar
"Ular piton hanya menyantap mamalia," kata Low menggaris bawahi, meskipun mereka kadang-kadang memangsa reptil, termasuk buaya.
Awalnya mereka memangsa tikus dan hewan-hewan kecil lainnya, katanya.
"Tapi setelah mencapai ukuran tertentu, mereka hampir tidak menghiraukan tikus dan hewan-hewan sejenisnya lagi, karena asupan kalori yang akan didapat sudah tidak mencukupi," ujar Low.
"Intinya mereka bisa memakan mangsa sebesar mungkin (seperti babi atau sapi)," sambungnya.
Salah Perhitungan
Kadang-kadang mereka salah perhitungan juga dalam memilih santapannya.
Pada tahun 2005 seekor ular Sanca Burma berusaha menelan bulat-bulat seekor buaya.
Alhasil, kedua hewan itu mati. Itu karena buaya bisa ditelan sebagian, namun mengakibatkan perut ular itu pecah saat memamahnya.
Bangkai keduanya ditemukan oleh para penjaga hutan di Florida.
Tapi pemburu oportunistik ini bisa memilih-milih mangsa juga. Jika mereka tidak mendapat mangsa yang benar-benar cocok, mereka bisa menyantap yang kecil-kecil untuk sementara sampai akhirnya mereka menemukan mangsa yang cukup besar.
Tapi manusia tetap tak masuk dalam menu utama mereka.
Kasus Serupa
Pada tahun 2002 seorang bocah lelaki berumur sepuluh tahun dilaporkan telah ditelan oleh seekor ular piton di Afrika Selatan. Tapi yang disantap sang ular bukan manusia dewasa.
Selain itu, pemangsanya bukan sanca kembang seperti dua kasus di Indonesia.
Pakar ular dari Universitas Brawijaya, Nia Kurniawan, mengatakan bahwa ular sanca sensitif terhadap getaran, kebisingan dan panas dari lampu, sehingga mereka biasanya menghindari pemukiman manusia.
Meski begitu, katanya, ular ini bisa mengingat tempat perburuan.
Bisa jadi kebun sayuran milik Wa Tiba itu dulunya adalah hutan tempat ular itu berburu mangsa. Ditambah lagi, Wa Tiba disangka mamalia buruan.
https://sains.kompas.com/read/2018/06/19/094013623/jasad-perempuan-di-perut-ular-bagaimana-sanca-menelan-utuh-manusia