Adanya "aturan" yang tidak menganjurkan remaja putri makan makanan tertentu justru membuat mereka kekurangan gizi sehingga terhambat pertumbuhannya.
"Berdasarkan penelitian kami, nutrisi adalah konsep yang sangat abstrak bagi banyak remaja perempuan di Indonesia. Dan mereka tidak bisa melihat relevansinya terhadap kehidupan sehari-hari," kata Kecia Bertermann dari Girl Effect.
"Kesehatan bagi mereka adalah sesuatu yang berkaitan dengan kegembiraan, aktif, awas, dan tidak sakit. Mereka makan hanya agar kenyang dan sangat bergantung pada jajanan kecil yang kebanyakan makanan olahan," imbuh Kecia.
Kedua organisasi melakukan penelitian kualitatif pada 36 perempuan berusia 14 sampai 16 tahun di Jakarta pada bulan Oktober sampai November 2017. Mereka juga berbicara dengan tokoh masyarakat dan para orang tua.
Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah kuatnya kepercayaan akan tabu makanan tertentu di kalangan remaja putri yang berdampak tubuh tidak mendapat asupan cukup gizi.
"Misalnya keyakinan tentang makan terlalu banyak mentimun dapat menyebabkan keputihan, makan nanas dapat menyebabkan sulit hamil, makanan pedas dapat menyebabkan ibu yang menyusui menghasilkan susu pedas," Kecia menjelaskan.
Penelitian ini bukanlah yang pertama kali membahas dampak mitos makanan tertentu terhadap kesehatan tubuh.
Sebelumnya, UNICEF bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan Indonesia pernah membuat penelitian serupa dengan objek remaja laki-laki dan perempuan di Indonesia berusia13 sampai 18 tahun pada 2017, salah satunya di Lombok.
Dari penelitian keadaan nutrisi pada remaja ini, mereka menemukan pandangan tabu makanan lebih banyak dialami remaja putri.
"Kebanyakan tabu makanan dan juga persepsi yang mempengaruhi kegiatan fisik hanya diterapkan remaja putri," kata Dr Jee Hyung Rah, ahli nutrisi UNICEF yang berkantor di Jakarta.
Meski dua penelitian besar menunjukkan tabu makanan picu remaja putri Indonesia kekurangan gizi, sejumlah pihak merasa hal ini bukan satu-satunya alasan.
"Kita lihat bagaimana akses mereka terhadap makanan khususnya pada daerah-daerah pedesaan, masalah ekonomi juga bisa membuat akses terhadap pangan terbatas," kata Prof Dr Evy Damayanthi, ahli gizi dan pangan dari IPB.
Prof Evy menambahkan, banyak remaja putri mengalami stunting atau kekurangan gizi kronis sejak masih balita.
Kegiatan fisik dan pendidikan
Selain kebiasaan makan, UNICEF memandang kegiatan fisik juga penting. Pihaknya menilai kebanyakan perempuan yang masih remaja kurang beraktivitas dibanding laki-laki.
"Faktor penyebab terjadinya malnutrisi ganda tak hanya disebabkan kebiasaan makan. Di saat yang sama juga dipicu kegiatan fisik," kata Dr Jee dari UNICEF.
"Penelitian kami menunjukkan, jenis kelamin tidak hanya memengaruhi asupan remaja tetapi juga memengaruhi kegiatan fisik," jelasnya.
Dalam penelitian UNICEF 2017 silam, pihaknya menemukan 10 persen remaja terlalu kurus atau indeks massa tubuhnya rendah, sementara 10 persen lainnya justru kelebihan berat badan.
Salah satu pihak yang dipandang paling bertanggung jawab dalam mengatasi masalah kekurangan gizi ini adalah pemerintah, terutama terkait dengan pendidikan gizi yang seharusnya sudah dimulai sejak Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
"Masalah kebiasaan ini berawal dari masa sebelum-sebelumnya, yakni sejak bangku sekolah. Kalau saya boleh menyarankan, kebijakan pemerintah (terkait masalah kurang gizi) sudah dimulai sejak masih anak-anak," kata Profesor Evy.
"Jadi kalau pendidikan gizi dimulai tidak hanya sekedar makan makanan yang baik tetapi juga bagaimana cara mengonsumsinya buat anak-anak, kemudian kenapa itu harus penting," tambahnya.
Aplikasi untuk remaja
Girl Effect dan Nutrition International telah meluncurkan penyebaran informasi tentang gizi kepada remaja perempuan lewat aplikasi Springster sejak tahun 2015 di 66 negara termasuk Indonesia.
Sampai sejauh ini pemakainya terus meningkat, sudah mencapai lebih 2,4 juta remaja yang diperkirakan meningkat dua kalinya pada bulan Mei 2019.
"Platform ini sudah memberikan pengetahuan, ketahanan dan keyakinan diri, serta mengatasi masalah mereka, persoalan kesehatan secara umum, menstruasi, dan pubertas. Lewat kerja sama ini kami ingin menggunakan kekuatan telepon genggam untuk masyarakat," tutur Kecia.
"Ini adalah cara yang sangat kuat untuk mencapai remaja perempuan guna menyampaikan informasi baru tentang nutrisi dan kesehatan," tegasnya.
Aplikasi kemungkinan bisa efektif di masyarakat seperti Indonesia karena tingginya paparan terhadap internet tetapi yang tetap perlu diperhatikan juga adalah bagaimana menjalankannya.
"Selain content, tentunya adalah pendekatan langsung yang bersifat interaktif akan lebih bermanfaat buat mereka. Apa persoalan mereka, bagaimana solusinya. Persoalannya adalah ini kan harus di maintain yah, harus ada adminnya. Kelihatannya disukai karena ada games-nya juga. Kendalanya adalah harus ada admin yang terus menerus bisa memantau, kemudian menjawab," kata Evy.
https://sains.kompas.com/read/2018/06/16/133343323/benarkah-mitos-nanas-dan-mentimun-bikin-perempuan-indonesia-stunting