Laporan yang diterbitkan di jurnal Neuroscience menjelaskan tentang banyaknya perawatan depresi yang didasarkan pada satu hipotesis tentang bagaimana gangguan mental muncul.
Penjelasan yang dikenal sebagai hipotesis monoamin menyatakan kadar zat kimia serotonin, norepinefrin, dan atau dopamin di otak tidak seimbang dan menyebabkan munculnya gejala depresi.
Dampaknya, mayoritas obat antidepresan dirancang berdasarkan ide tersebut, dengan tujuan untuk menormalkan kadar zat kimianya. Faktanya, sekitar 30 persen orang tidak mendapatkan perubahan yang menguntungkan dari perawatan tersebut.
"Ini artinya kita butuh obat baru dan penjelasan lain terkait penyebab depresi," kata ahli saraf Yumiko Saito dilansir Newsweek, Senin (12/6/2018).
Saito dan rekannya Yuki Kobayashi kemudian menyoroti peran protein yang dikenal sebagai RGS8 dalam gejal depresi.
Penelitian sebelumnya menyebut semakin sedikit protein RGS8 yang dimiliki maka perilaku depresi akan meningkat.
Untuk membuktikannya, tim melakukan percobaan pada dua kelompok tikus. Salah satunya direkayasa secara genetik sehingga mereka memiliki lebih banyak RGS8 dalam sistem saraf, sementara kelompok tikus yang lain terdiri dari tikus normal.
Untuk menilai perilaku depresi, kedua kelompok tikus dipaksa berenang di air sementara para peneliti mengukur berapa lama mereka bergerak atau diam.
Hasilnya, tikus dengan lebih banyak protein RGS8 tidak bisa bergerak untuk waktu yang lebih singkat daripada tikus normal. Ini menunjukkan bahwa mereka kurang depresi.
"Tikus-tikus ini menunjukkan tipe depresi baru. Monoamin tampaknya tidak terlibat dalam perilaku depresi ini," kata Saito.
Dari temuan ini, mereka berpendapat RGS8 harus menjandi fokus untuk penelitian selanjutnya.
Dengan memahami peran RGS8, mereka percaya dapat mengembangkan obat antidepresan baru yang bermanfaat bagi pasien yang tidak terpengaruh dengan obat antidepresan umumnya.
https://sains.kompas.com/read/2018/06/14/050700723/ilmuwan-jepang-temukan-jenis-depresi-baru