Dua hari lalu (1/6/2018), Merapi meletus tiga kali dalam satu hari. Letusan pertama terjadi pada 8.20 WIB dengan ketinggian kolom 6.000 meter.
Akibat tusan tersebut, ratusan warga yang tinggal di lereng Merapi sempat mengungsi. Namun, pada Sabtu (2/6/2018) mereka cepat kembali ke rumah dan melakukan aktivitas seperti biasa lagi.
Sementara itu di belahan bumi lain, aliran lava merah dan asap tebal bercampur pasir akibat letusan gunung berapi Kilauea di Hawaii telah menyita perhatian dunia.
Dua aktivias gunung berapi yang aktif ini, mengingatkan kembali sejarah letusan gunung berapi yang memporak-porandakan kehidupan dan peradaban masyarakat.
Mulai dari letusan Gunung vesuvius di Italia yang membumihanguskan kota Pompeii pada 79 M, meletusnya Gunung krakatau pada 1883 di Selat Sunda, atau letusan Gunung Tambora pada 1815 di Nusa Tenggara yang terdengar sampai pulau Sumatera.
Sementara itu, gunung-gunung di Hawai, Merapi, Sinabung di Sumatera Utara, dan juga Anak Krakatau terhitung cukup rutin meletus.
Jadi seberapa bahaya letusan gunung berapi sebetulnya? Beikut catatan Satrah Brown, dari Universitas Bristol.
Sejarah masa lalu
Setiap tahun, ada sekitar 60 gunung berapi yang meletus. Beberapa letusan gunung berapi membuat kita terkejut, tetapi ada juga yang letusannya tidak mengganggu kita.
Kilauea merupakan salah satu gunung berapi paling aktif di dunia, gunung itu mulai memuntahkan letusannya 35 tahun yang lalu, namun telah terjadi peningkatan aktivitas dalam beberapa minggu terakhir.
Aliran lavanya telah menerjang rumah-rumah penduduk, tapi untungnya hanya satu orang dilaporkan mengalami luka serius. Korbannya adalah seorang pria yang terkena batu yang melesat saat ia duduk di balkon rumahnya.
Kejadian ini menunjukkan bahwa gunung berapi tak selamanya berbahaya, tetapi banyak penduduk di dunia yang tinggal dekat dengan gunung berapi aktif dan banyak di antaranya merupakan gunung yang jauh lebih mematikan dibanding gunung Kilauea.
Sejak tahun 1500, tercatat sekitar 280.000 orang tewas akibat letusan berbagai gunung berapi, 170.000 orang di antaranya tewas dalam enam letusan gunung berapi.
Kami memperoleh angka-angka tersebut dari berbagai laporan media, catatan publik dan dokumen-dokumen sejarah.
Sekitar 2.000 orang tewas akibat letusan gunung berapi sejak tahun 2000.
Sebagian besar kematian disebabkan oleh aliran lumpur vulkanik di Filipina, aliran piroklastik di Indonesia, aliran lava di Republik Demokratik Kongo, dan proyektil gunung berapi di Jepang. Tahun lalu, tiga wisatawan meninggal di Italia akibat jatuh ke sebuah lubang di kawah gunung berapi.
Saat ini, sekitar 800 juta orang tinggal dalam radius 100 km dari gunung berapi aktif. Ini adalah jarak cukup jauh dari bahaya gunung berapi yang berpotensi mematikan. Dari jumlah 800 juta ini, sekitar 200 juta berada di Indonesia.
Seiring dengan pertambahan penduduk, mungkin akan ada banyak orang yang mendirikan pemukiman dekat salah satu gunung berapi dari 1.500 gunung berapi aktif, yang tersebar di 81 negara.
"Aktif" bukan berarti bahwa semua gunung berapi ini akan meletus, tetapi gunung tersebut aktif baru-baru ini dan bisa memuntahkan letusan-letusan baru.
Seberapa mematikan letusan gunung berapi?
Dalam kasus Kilauea, US Geological Survey (USGS) melihat peningkatan yang ditandai dalam aktivitas seismik pada akhir April, dengan rekahan pertama muncul di awal Mei.
Sejak saat itu, aliran lava mengalir hingga 5 kilometer ke lautan, menghancurkan rumah-rumah dan mengakibatkan ribuan orang dievakuasi.
Namun, aliran lava semacam itu tidak mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa.
Meskipun membakar dan mengubur semua yang dilewatinya, lava yang suhunya sekitar 1.200 derajat Celsius bergerak cukup lambat, sehingga orang-orang masih bisa menyelamatkan diri.
Bahaya muncul jika orang tidak segera menyelamatkan diri. Di Hawaii, beberapa orang diterbangkan ke tempat yang aman karena jalur penyelamatan terputus.
Lava bisa menyebabkan ledakan, terutama jika melewati pipa gas yang terkubur di dalam tanah.
Dan ketika mencapai samudera, lava akan membentuk tanah baru yang tidak stabil dan kabut lahar yang terdiri dari gumpalan uap, asam hidroklorik, dan pecahan kaca.
Bahaya lain di Hawaii adalah sulfur dioksida, salah satu dari beberapa jenis gas yang dapat ditimbulkan oleh gunung berapi, bahkan saat gunung berapi tersebut tidak meletus.
Namun gabungan lava dan gas itu jumlahnya kurang dari 2 persen dari muntahan vulkanik yang tercatat.
Kebanyakan orang tewas akibat aliran piroklastik dan lahar, hasil letusan gunung berapi yang bergerak cepat, terdiri dari gas panas, abu vulkanik, dan bebatuan lahar yang menyebabkan sekitar 120.000 orang tewas selama 500 tahun terakhir.
Ini biasanya terkait dengan gunung berapi berkerucut besar yang ditemukan di perbatasan tektonik, seperti cincin api, tidak seperti gunung berapi yang memiliki perisai landai, seperti Kilauea.
Piroklastik terdiri dari longsoran batu, abu, dan gas yang mengalir dengan sangat cepat, dan bisa mencapai suhu 700 Celcius.
Alirannya menghancurkan semua yang dilewatinya, dan dipastikan akan menyebabkan kematian bagi siapa saja yang berada di dekatnya.
Pada tahun 79 Masehi, aliran piroklastik mengubur kota Pompeii di zaman Romawi kuno. Tak hanya di kota Pompeii, aliran piroklastik juga telah menelan korban jiwa hampir 30.000 orang yang tinggal di Martinique, pulau Karibia pada tahun 1902.
Lahar bisa berisi bebatuan, pohon dan bahkan rumah.
Semua itu bisa terbentuk sebagai hujan, salju, atau es yang mencair dan menyapu endapan abu dari lereng gunung berapi dan lembah sekitarnya dengan kecepatan tinggi.
Pada tahun 1985 sekitar 25.000 orang tewas akibat oleh lahar di Nevado del Ruiz, Kolombia.
Dalam letusan dahsyat, abu vulkanik bisa terbang ratusan atau bahkan ribuan kilometer. Dengan cepat abu vulkanik dapat mengubur berbagai kawasan dan mengganggu transportasi serta layanan penting.
Dalam sejarahnya, abu vulkanik menyebabkan kelaparan dan berbagai penyakit, gagal panen. Sedangkan abu dan gas yang ditimbulkan bisa menyebabkan perubahan sementara dalam iklim.
Letusan gunung berapi tidak semestinya menimbulkan kematian, asal...
Meskipun, tidak dapat dihentikan, letusan gunung berapi tidak semestinya menimbulkan kematian dan bencana.
Letusan gunung Kilauea yang dilaporkan hanya menyebabkan satu orang terluka di Hawaii adalah bukti kerja yang baik dari para ilmuwan observatorium dan badan penanggulangan bencana, serta sistem pemantauan yang sangat baik.
Sayangnya, tidak semua gunung berapi di belahan dunia bisa dipantau dengan baik seperti Kilauea. Salah satu penyebabnya, sumber daya yang terbatas.
Pemantauan satelit memungkinkan pengamatan beberapa gunung berapi di daerah yang paling terpencil, tetapi hanya sekitar 20 persen dari gunung berapi di dunia memiliki pemantauan di darat.
Setidaknya setiap dua tahun, ada gunung berapi yang tak tercatat letusannya.
Ini bisa menjadi yang paling berbahaya, karena periode dormansi yang lama dapat berakhir dengan letusan yang lebih eksplosif dan orang-orang yang tinggal di dekatnya tidak mempersiapkan diri.
Namun demikian, observatorium gunung berapi, peneliti, dan organisasi internasional bekerja tanpa lelah untuk merespon keadaan darurat dan meramalkan peristiwa, sehingga puluhan ribu nyawa bisa diselamatkan.
Tentu saja, gunung berapi tidak semestinya mematikan, karena bisa menimbulkan dampak yang signifikan, seperti evakuasi orang-orang, mata pencaharian menjadi hilang, pertanian hancur, dan kerugian ekonomi bisa mencapai miliaran.
Kita harus lebih bijak untuk terus mengawasi gunung berapi di berbagai belahan dunia ini, bahkan ketika gunung-gunung berapi itu tampak seperti tidur.
https://sains.kompas.com/read/2018/06/03/110000023/letusan-merapi-dan-puluhan-gunung-berapi-di-dunia-seberapa-mematikan-