KOMPAS.com - Kisah Frankenstein mungkin tak asing lagi bagi kita. Cerita bagaimana seorang ilmuwan menggabungkan beberapa bagian tubuh, salah satunya kepala dan mengaliri listrik pada baut sambungan di leher memang hanya sebuah kisah fiksi.
Namun, ahli bedah saraf Sergio Canavero dari Italia dan Xiaoping Ren dari China berencana melakukan hal itu.
Tentu mereka tidak akan mengalirinya dengan listrik, melainkan hanya transplantasi kepala.
Tentunya rencana kedua ahli bedah saraf tersebut banyak mendapat tanggapan negatif. Terutama karena masalah etika dan moral.
Apalagi, jika transplantasi kepala ini dilakukan pada manusia tanpa banyak pengujian pada hewan.
Meski begitu, pertanyaan yang paling mendasar sebenarnya mungkinkah transplantasi kepala benar-benar dilakukan?
Kepala Tetap Hidup
Dirangkum dari CNBC, Selasa (15/05/2018), meski kedengarannya mustahil, menjaga kepala manusia yang terlepas untuk tetap hidup saat ini sangat mungkin dilakukan.
Caranya, dengan menjaga kepala yang tidak sadar dalam penyimpanan dengan suhu sangat dingin atau sekitar 10 derajat Celcius.
Suhu dingin ini digunakan untuk mengurangi kerusakan otak. Selain itu, kepala dihubungkan dengan dua pompa, yaitu aliran darah yang terus menerus dan aliran oksigen.
Menghubungkan Sumsum Tulang Belakang
Selain itu, untuk transplantasi ini, sebuah perekat yang disebut dengan polyethylene glycol juga digunakan.
Perekat tersebut digunakan untuk menghubungkan kepala relawan dengan sumsum tulang belakang dari tubuh donor.
Inilah penghalang utama dalam transplantasi kepala. Jika penghubungan sumsum tulang belakang dan kepala tidak berjalan dengan baik, maka tubuh akan lumpuh.
Pada bulan Desember lalu, Canavero dan Ren menerbitkan sebuah penelitian di mana mereka memutuskan tali tulang belakang dari 12 anjing.
Mereka kemudian mengaplikasikan polietilen glikol ke sayatan tujuh anjing dan juga mengirimkan stimulasi listrik.
Selama dua bulan berikutnya anjing-anjing dalam kelompok perlakuan mendapatkan kembali beberapa fungsi motoriknya.
Tapi hal ini tidak berlaku pada 5 anjing yang tidak mendapat perlakuan tersebut.
Dalam studi hewan sebelumnya, Ren melakukan transplantasi kepala lengkap dengan teknik fusi spinal pada tikus dan tikus, serta anjing, yang semuanya juga mendapatkan kembali beberapa fungsi motorik, meskipun tidak sepenuhnya normal.
"Kami telah menunjukkan bahwa dengan teknik ini, perfusi tulang belakang adalah mungkin," kata Ren.
Berbahaya
Tanggapan terhadap penelitian keduanya oleh beberapa ilmuwan. Salah satunya Mark Hardy, seorang ahli imunosupresi dan ahli bedah transplantasi di Columbia University.
Hardy menyebut bahan perekat tersebut adalah racun bagi manusia.
Untuk itu, Hardy mengatakan, meski bisa dilakukan pada hewan tapi prosedur itu tidak bisa diterjemahkan ke manusia.
Selain itu, Hardy juga berpendapat bahwa istilah transplantasi kepala kurang tepat.
"Anda harus memvisualisasikannya di mana tubuh adalah organ donor dan kepala adalah penerima. Ini bukan transplantasi kepala; ini adalah transplantasi tubuh," kata Hardy.
Melanggar Etika
Meski secara teknis transplantasi kepala mungkin bisa segera dilakukan, tapi masalahnya tidak sederhana.
"Etika itu rumit. Saat ini pendapat saya adalah, kami tidak tahu apakah ini akan menjadi ide yang bagus bagi masa depan. Kami hanya tidak siap melakukannya," ungkap Allen Furr, seorang sosiolog dan ahli etika di Auburn University, AS.
Salah satu yang paling memberatkan adalah masalah psikologi.
"Kita tidak tahu bagaimana otak akan bereaksi jika memiliki tubuh berbeda," ujarnya.
"Secara psikologis, kami menduga akan ada kebingungan," imbuhnya.
Furr juga menyebut bahwa ada prediksi bahwa orang akan menjadi gila jika punya tubuh "baru".
https://sains.kompas.com/read/2018/05/17/133520123/metode-transplantasi-kepala-dikembangkan-mungkinkah-segera-dilakukan