Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bagi Milenial, Kesepian Picu Masalah Kesehatan Mental

KOMPAS.com - Kesepian tak bisa lagi dianggap sebagai masalah remeh, terutama bagi generasi milenial.

Sebuah studi baru-baru ini menyebut, kesepian bisa menjadi pemicu kemunduran hidup para milenial.

Milenial yang kesepian cenderung akan memiliki masalah kesehatan mental, kehilangan pekerjaan serta merasa pesimis terhadap kemampuan mereka sendiri.

Ini berlaku tanpa memandang jenis kelamin maupun tingkat sosial ekonomi.

Dampak kesehatan dari kesepian juga telah dicermati oleh tim peneliti. Studi menunjukkan bahwa orang yang kesepian, ada kemungkinan 50 persen meninggal sebelum waktunya.

Dengan begitu, kesepian sama berbahayanya dengan efek merokok 15 batang sehari, serta sama berbahaya dengan obesitas.

Itu mengapa peneliti mengganggap serius kesepian sebagai penanda potensial adanya masalah lain.

"Jika seseorang mengungkapkan kepada teman-teman atau keluarga mereka, ketika merasa kesepian, itu bisa menjadi pertanda bahwa mereka berjuang dalam kehidupan mereka," kata Dr Timothy Matthews, peneliti dari King's College London dikutip dari The Guardian, Selasa (24/04/2018).

Diskusi mengenai kesepian selama ini sebagian besar hanya berfokus terhadap orang tua.

Tetapi nyatanya, studi terbaru di Inggris ini menemukan bahwa orang muda yang berusia 16-24 tahun justru lebih sering merasa kesepian daripada kelompok usia dewasa lainnya.

Penelitian terbaru, yang diterbitkan dalam jurnal Psychological Medicine, ini meneliti berbagai tahap kehidupan anak kembar dengan jenis kelamin sama yang lahir antara tahun 1994-1995. Penelitian melibatkan 2.066 partisipan yang telah mencapai usia 18 tahun.

Para peserta ditanya apakah mereka sering, kadang-kadang, atau tidak pernah mengalami kesepian.

Peneliti juga menanyakan mengenai faktor-faktor termasuk kesehatan mental mereka, kesehatan fisik, tingkat kepuasan hidup serta hubungan dengan teknologi. Termasuk melihat lingkungan keluarga partisipan dan mengumpulkan beberapa data dari tahun-tahun sebelumnya.

"Apa yang kami ingin lakukan adalah sebuah studi yang memberikan gambaran mengenai kehidupan orang-orang muda yang menderita kesepian," papar Matthews.

Hasilnya mengungkapkan jika 7 persen dari peserta mengatakan mereka sering memiliki perasaan kesepian.

Sementara 23-31persen dari peserta mengatakan mereka mengalami perasaan ditinggalkan, sendirian, terisolasi atau kurang memiliki persahabatan dalama kurun waktu tertentu.

Hasil ini didapat tanpa memandang gender atau status sosial ekonomi.

Setelah dianalisis kembali, dengan mempertimbangkan gender serta status sosial ekonomi, peneliti menemukan peningkatakan skala kesepian akan membuat dorongan dua kali lipat terjadinya depresi, kecemasan atau bunuh diri serta mendorong kemungkinan terjadinya peningkatan pengangguran.

Di antara temuan itu, kesepian juga terkait dengan merokok, individu yang kurang aktif secara fisik, penggunaan teknologi digital secara kompulsif, memiliki kualifikasi rendah dan cenderung kurang terbuka terhadap orang lain mengenai masalah mereka.

Meski mendapat temuan yang menarik, tim peneliti mengakui ada beberapa keterbatasan.

Di antaranya, semua partisipan memiliki setidaknya lebih dari satu saudara kandung, dan kesepian itu hanya diukur sekali pada saat anak berusia 18 tahun.

Dalam temuan ini, peneliti membuktikan bahwa kontak antar-individu mungkin tidak cukup untuk menghalau kesepian.

Untuk itu, pendekatan lain juga perlu dilakukan seperti mengatasi perundungan, isolasi, dan kesehatan mental pada anak-anak, karena faktor ini rupanya juga terkait dengan kesepian.

Penelitian ini tetap mendapatkan apresiasi dari kalangan peneliti lain. Salah satunya Anne Rogers, profesor implementasi sistem kesehatan di University of Southampton, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

Rogers mengatakan, penelitian memunculkan pertanyaan tentang apakah anak-anak kesepian terus menjadi orang dewasa yang kesepian. 

Pertanyaan ini muncul untuk mempertimbangkan bagaimana kesepian (pada orang dewasa) terjadi. 

"Itu mengapa penting untuk mengembangkan cara bagaimana orang-orang bisa saling terhubung satu sama lain. Hal ini akan membuat perbedaan," kata Rogers.

https://sains.kompas.com/read/2018/05/17/060200123/bagi-milenial-kesepian-picu-masalah-kesehatan-mental

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke