KOMPAS.com - Rodi Susilo, pria kelahiran tahun 1978 ini terlihat menerawang ketika ditanya mengenai perjuangannya melawan penyakit gangguan hati yang sempat ia alami pada tahun 2009 silam.
Kualitas hidupnya benar-benar menurun setelah didiagnosis menderita hepatitis B pada tahun 2007.
Virus yang mendiami tubuhnya tersebut memperburuk kondisi hati, hingga berujung pada sirosis (pengerasan) hati pada tahun 2009. Padahal, dia patuh mengonsumsi obat antivirus seperti yang diresepkan dokter.
Sejak saat itu, hidupnya bertambah berat.
“Efeknya timbul varises di saluran pencernaan, usus. Kalau tidak dirawat, pembuluh darah jadi pecah,” beber pria yang berprofesi sebagai aparatur sipil negara (ASN) seusai konferensi pers yang dihelat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Senin (7/5/2018) di Jakarta.
Endoskopi dan ligasi (pengecilan varises) bolak-balik dia lakukan. Itu dia lakoni agar kondisinya membaik. Namun, harapan tersebut menguap.
“Fungsi hati kian menyusut. Pengerasan makin parah,” ujarnya.
Puncaknya pada tahun 2014, dia seolah kalah bertarung dengan penyakit. Aktivitas sehari-hari nyaris terhenti dan Rodi hanya sanggup berbaring di tempat tidur. Pekerjaan pun terpaksa ditinggalkannya untuk sementara waktu.
“Perut membuncit isinya air. Kalau mau keluarkan kencing, harus pakai obat. Jika sudah tak mempan, harus disuntik baru disedot lewat perut,” kenangnya.
Penderitaan terus berlanjut hingga pada akhirnya, dia pulang kampung ke Medan pada tahun 2015. Di ibukota Sumatera Utara itu, dia mendatangi dokter terbaik di sana. Sebab, siapa tahu dia dapat solusi, selain harus transplantasi untuk kesembuhannya.
Rupanya, saran dokter di sana sama saja dengan dokter di Jakarta, sehingga sekembalinya dari Medan, dia bergegas mendatangi RSCM.
Operasi tidak bisa lagi menunggu. Pada 19 September 2015, Rodi menjalani cangkok hati.
Pasalnya, tubuhnya telah menyusut hingga hanya menyisakan tulang berbalut kulit. Pada saat itu, Rodi hanya berbobot 37 kg.
Kesadaran diri pun mulai berkurang dan dia mengaku kesulitan mengingat sesuatu. Bicaranya meracau hingga sukar dipahami lawan bicara.
“Saking parahnya, kata istri, saya pernah kerap buang air besar dan kecil di sembarang tempat di rumah. Tapi saya tak ingat itu,” ungkapnya.
Istri seperti malaikat
Sang istri, menjadi sosok yang paling berjasa selama dia jatuh sakit. Rody berkata bahwa justru istrinyalah yang meyakinkannya untuk melakukan cangkok hati. Bahkan, sang istri pantas disebut sebagai malaikat penyelamat tak bersayap.
Dhelistya Liza, istrinya, ikhlas merawat selama ia terpuruk dari awal didiagnosis sampai sempat bertingkah seperti orang gangguan jiwa. Bahkan, hati sang istrilah yang akhirnya mengisi bagian hatinya yang dibuang karena rusak.
“40-50 persen dari delapan segmen hati istri dipotong untuk ditempelkan ke hati saya,” imbuhnya.
Pertimbangan
Cukup berat bagi Rodi untuk memakai organ donor dari istri sendiri. Pasalnya, dia memikirkan nasib buah hati satu-satunya yang masih berumur satu tahun kala itu.
“Siapa yang merawat kalau dua orangtuanya berbaring di rumah sakit,” ucapnya getir.
Sebenarnya, ada teman SMA yang menyatakan kesediaannya untuk donor hati. Sang adik juga mengajukan kesanggupan. Namun, pilihan akhirnya jatuh ke sang istri setelah melewati tahapan skrining.
Menurut dokter spesialis penyakit dalam RSCM, Dr.dr Andri Sanityoso SpPD-KGEH, untuk proses transplantasi hati sebaiknya memang memiliki banyak calon pendonor. Sebab, untuk mengantisipasi jika satu calon pendonor tidak memenuhi syarat, masih ada opsi cadangan lain.
Kehidupan baru
Aktivitas hidupnya yang sempat terenggut lantaran gangguan fungsi hati, akhirnya kembali seusai operasi. Keluhan mual, muntah, dan tubuh lemas pun sudah hilang. Dulu, dia bahkan sampai harus cuti satu setengah tahun dari pekerjaannya akibat sakit.
“Bobot saya sekarang 70 kilogram. Sudah kembali bekerja bahkan dinas ke luar kota,” ujarnya.
Oleh karena tidak ingin mendekam lagi di ruang ICU selama sebulan dan kamar rawat inap rumah sakit selama sepuluh hari, Rodi tidak pernah absen minum obat dan kontrol sebulan sekali ke dokter.
“Saya harus selalu minum obat antivirus ricovir dan imunosupresan prograf,” katanya.
Dia pun kini tidak terlalu memforsir kegiatannya. Menurut dia, tubuh punya alarm, yakni rasa capek. Sehingga ketika sudah merasakan itu, jangan dipaksakan.
Pencegahan
Melalui Kompas.com, dokter Andri berpesan kepada masyarakat agar menjalani hidup sehat supaya tidak terkena penyakit gangguan hati.
Gaya hidup yang bisa diterapkan yakni istirahat cukup. Aktivitas sehari-hari mesti diimbangi dengan tidur minimal delapan jam sehari supaya kerja hati tidak terlalu berat.
Lalu, diimbangi dengan tidak merokok, tidak minum alkohol dan rutin melakukan pemeriksaan kesehatan minimal setahun sekali, kata Andri.
Berat badan pun mesti dikontrol dengan menjaga asupan makanan yang masuk. Sebab, orang obesitas rentan mengalami sirosis.
“Sel lemak akan menumpuk di hati. Kalau dibiarkan, akan mengeras jadi sirosis hati,” ujarnya.
https://sains.kompas.com/read/2018/05/08/200400023/cerita-rodi-susilo-mengembalikan-hidupnya-dengan-transplantasi-hati