Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kali Pertama, Buaya Lakukan Scan MRI Sambil Dengarkan Musik Klasik

Reptil ini dipilih karena mereka sudah hidup sejak 200 juta tahun lalu dan tidak mengalami perubahan selama ribuan tahun. Lewat buaya, para ilmuwan berharap dapat memahami struktur dan perilaku otak.

Untuk pertama kalinya, buaya nil ditempatkan ke alat pemindai MRI. Selama buaya dipindai otaknya, musik klasik yang mewakili bunyi kompleks diperdengarkan.

Data rekaman pola otak buaya saat merespon bunyi kemudian dibandingkan dengan pengamatan otak pada mamalia dan burung.

Diwartakan Gizmodo, Jumat (4/5/2018), penelitian yang dipimpin Felix Ströckens dari Departemen Biopsikologi di Ruhr University Bochum, Jerman, memindai buaya dengan menggunakan functional MRI (fMRI).

Perangkat ini umumnya digunakan untuk mendiagnosis atau mempelajari mamalia seperti anjing, namun ini adalah pertama kalinya hewan berdarah dingin dianalisis dalam mesin tersebut.

Tantangan penelitian

Penelitian yang terbit di  jurnal Proceedings of the Royal Society B, Rabu (25/4/2018), bukanlah eksperimen yang sederhana dan aman.

"Kesulitan dalam pemindaian buaya adalah kenyataan bahwa mereka reptil berdarah dingin dan sedikit berbahaya," kata Ströckens kepada Gizmodo.

Kesulitan yang dimaksud Ströckens adalah hal teknis. Misalnya, untuk mendapatkan sinyal otak yang jelas, bergantung pada suhu tubuh hewan. Berbeda dengan mamalia, buaya berdarah dingin dan suhu tubuh mereka berubah ketika suhu ruangan berubah.

"Dengan demikian kami harus menemukan suhu yang tepat untuk membantu kami mengambil sinyal yang baik dan nyaman untuk hewan itu," katanya.

"Kami juga harus menjaga suhu ini stabil dalam pemindai yang relatif sulit karena kumparan dalam pemindaian juga memancarkan panas," sambungnya.

Satu-satunya cara yang dilakukan ilmuwan agar buaya tetap pada tempatnya dan tidak bergerak selama dipindai adalah membius dan mengunci moncongnya agar tetap aman.

“Untungnya mereka tidak bergerak sama sekali. Kami harus sangat hati-hati, karena buaya yang marah bisa dengan mudah merusak pemindai atau melukai kami, bahkan saat usia mereka baru setahun, mereka mempunyai otot rahang dan ekor yang cukup kuat. Untungnya semua berjalan baik dan tidak ada yang terluka,” ucap Ströckens.

Eksperimen lima buaya

Para peneliti menggunakan lima buaya nil muda untuk melihat berbagai rangsangan visual dan pendengaran.

Isyarat visual terdiri dari lampu merah dan hijau yang berkedip saat terjadi perubahan kekuatan dan interval.

Isyarat pendengaran sederhana melibatkan suara akord acak antara 1.000 Hz dan 3.000 Hz. Untuk bunyi yang kompleks, para peneliti memainkan bagian dari Konser Brandenburg No. 24 milik Johann Sebastian Bach.

Hasilnya menunjukkan bahwa berbagai area otak buaya teraktivasi saat mendengar bunyi-bunyi kompleks dibandingkan mendengar bunyi-bunyi dasar.

Faktanya, pola yang diamati mirip dengan yang terlihat pada mamalia dan burung saat terpapar musik.

Pengamatan ini menunjukkan, aspek struktural dan fungsional dari pemrosesan sensori hadir di otak reptil. Menariknya kemampuan ini tetap diwariskan turun temurun, artinya buaya modern memiliki struktur otak yang sama dengan moyang mereka.

Bagi Ströckens, temuannya ini sangat menarik, apalagi buaya merupakan kelompok spesies yang relatif kuno.

"Bisa jadi prinsip-prinsip proses ini berevolusi jauh lebih awal dari yang kita duga sebelumnya," katanya.

Selain itu, ia juga membuktikan bahwa MRI dapat digunakan untuk mempelajari hewan berdarah dingin.

"Ini terobosan penting, artinya fMRI dapat digunakan untuk meneliti reptil lain. Ini akan sangat berguna untuk penelitian masa depan, di mana masih banyak spesies yang belum diselidiki," tutupnya penuh harap.

https://sains.kompas.com/read/2018/05/07/220851723/kali-pertama-buaya-lakukan-scan-mri-sambil-dengarkan-musik-klasik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke