KOMPAS.com - Siapa sangka jika para bakteri saling berkomunikasi. Ya, bakteri penyebab penyakit pneumonia, sepsis, dan infeksi lainnya ternyata mampu mengirim sinyal "bahaya" kepada koloninya ketika antibiotik ingin membasmi mereka.
Layaknya pasukan perang, koloni bakteri Pseudomonas aeruginos akan merapatkan barisan untuk melindungi koloni dari serangan antibiotik. Perilaku baru bakteri tersebut diungkap oleh sejumlah ahli dari Universitas Notre Dame dan Univsersitas Illinois di Urbana-Champaign.
"Para peneliti belum mengerti benar bagaimana bakteri membuat koloni, sebut saja pada patogen oportunistik P. aeruginosa menanggapi antibiotik," kata Nydia Morales-Soto, ahli di bidang teknik sipil dan lingkungan dan ilmu bumi (CEEES) di Universitas Notre Dame dikutip dari Phys.org, Jumat (27/04/2018).
"Sebagian besar yang kita ketahui berasal dari studi komunitas biofilm stasioner, sedangkan proses sebelum bakteri berkolonisasi, menyebar, dan berkembang kurang diketahui," sambungnya.
Untuk itu, secara khusus, para peneliti mengamati perilaku bakteri selama periode tersebut. Ini juga bisa berarti resistensi atau kebal terhadap antibiotik, tambah Morales-Soto.
Perilaku koloni bakteri P. aeruginosa tersebut ternyata tidak lepas dari pengaruh antibiotik tobramycin. Antibiotik ini menghasilkan dua sinyal reaksi saat digunakan untuk memerangi bakteri tersebut.
Sinyal pertama adalah melokalisir koloni bakteri atau disebut Pseudomonas quinolone signal (PQS).
Sinyal kedua adalah alkyl hydroxyquinoline (AQNO) atau sinyal bagi seluruh koloni bakteri. Selama ini, tobramycin merupakan antibiotik yang paling sering digunakan dalam perawatan medis.
Dari pengamatan secara terpisah terhadap setiap reaksi, para peneliti mengungkap bahwa P. aeruginosa benar-benar mampu menghasilkan PQS dalam jumlah yang sedikit namun dengan konsentrasi lebih tinggi dari penelitian sebelumnya.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa PQS dan AQNO secara bebas mengatur reaksi yang sengaja menyampaikan pesan yang berbeda.
Hal ini berarti sejumlah tipe bakteri mungkin punya kemampuan melindungi koloni mereka saat antibiotik datang, ketika bakteri masih berada dalam fase berkoloni.
"Meskipun respons AQNO yang diidentifikasi dalam makalah ini adalah perilaku yang bergantung pada tingkat stres, namun pesan kimiawi dari bakteri tersebut belum secara definitif disebut sebagai sinyal. Namun, berdasarkan penelitian kami, kami percaya itu," kata Joshua Shrout, profesor CEEES dan profesor ilmu biologi di Universitas Notre Dame.
Shrout berkata, penelitian ini membuka jendela baru untuk memahami perilaku P. aeruginosa dan berpotensi bagaimana bakteri ini merespons antibiotik.
Penemuan dalam penelitian ini menjadi "Pilihan Editor" di Journal of Biological Chemistry (JBC). Hal ini merupakan kebanggan tersendiri bagi para peneliti karena hanya 2 persen makalah yang terbit di jurnal tersebut dan mendapat predikat tersebut.
Para peneliti didanai oleh National Institutes of Health ini menggunakan teknik spektroskopi Raman dan spektrometri massa untuk menyelesaikan analisis. Piksel demi piksel dari ratusan ribu piksel dalam gambar kimianya dilakukan para peneliti.
Proses medetail ini memungkinkan para peneliti untuk mengidentifikasi dua reaksi kimia yang berbeda dari bakteri terhadap tobramycin. Metode ini juga merupakan proses unik yang dikembangkan oleh tim peneliti.
https://sains.kompas.com/read/2018/05/01/180700023/studi-baru-ungkap-komunikasi-bakteri-untuk-hindari-antibiotik