Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jalan Pertobatan Pemburu Duyung dari Desa Air Glubi

BINTAN, KOMPAS.com - Bila berpapasan di jalan, Anda mungkin tidak akan pernah menyangka bahwa Munsa adalah mantan pemburu duyung andal.

Pria yang tidak tahu pasti usianya ini - Munsa selalu bilang dia 70 tahun lebih – hingga beberapa tahun lalu, memburu mamalia laut yang beratnya bisa mencapai ratusan kilogram.

“Saya ini ahli menangkap duyung pakai tombak,” ujar Munsa.

Ditemui di rumahnya di Desa Air Glubi, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau, Kamis (26/4/2018), Munsa membagikan banyak cerita berburu duyung kepada para wartawan, mulai dari kemampuannya mengetahui ukuran duyung hanya dari suara hingga pengalaman memelihara duyung di depan rumahnya.

“Saya tahu ke mana-mana gerak duyung. Kalau dia turun (ke dalam air), saya tahu keluarnya ke mana,” katanya.

Orang-orang suku laut seperti Munsa tidak bisa hidup jauh dari lautan.

Dia pertama kali memburu duyung pun ketika masih seusia cucunya kini, sekitar tujuh tahun, dengan mengikuti ayahnya. Ibarat sekolah, sebut Munsa.

Dari ayahnya jugalah, Munsa belajar membaca waktu terbaik untuk memburu duyung dari pasang surut air dan angin laut, dan cara membuat mata tombak khusus yang sekalinya menembus kulit duyung yang tebal dan licin, tidak akan bisa lepas lagi.

Menggunakan tombaknya, Munsa telah memburu begitu banyak duyung hingga jumlahnya tak terhitung lagi.

Namun, di antara cerita-cerita fantastis tersebut, terselip kekejaman terhadap duyung yang bisa membuat bulu kuduk berdiri.

Untuk memburu seekor duyung, Munsa perlu menombak tiga kali. Setelah mata tombak pertama masuk dan tidak akan keluar lagi, tombak kedua dan ketiga pun ditancapkan. Kemudian, duyung yang masih hidup ditali pada jarak 200 meter ke kapal dan diseret di lautan.

“Harus hati-hati. Kalau perahu sudah miring, kebalik sudah,” ujarnya.

Dia pun secara khusus memilih duyung yang sudah dewasa karena memiliki lebih banyak gigi dan daging untuk dijual.

Johar, putra bungsunya yang kini juga berburu duyung berkata bahwa duyung pertama yang keluar dari air masih kecil. “Kalau mau tombak, tombak yang kedua atau yang belakang. Itu yang besar,” imbuh Munsa.

Usaha keluarga

Akan tetapi, itu sudah masa lalu. Munsa tak lagi berburu duyung sejak berjanji dengan pemerintah beberapa tahun lalu. "Sudah janji pemerintah, untuk apa melanggar hukum? Kalau orang kami ini pegang janji," katanya.

Kini, dia hanya mencari ikan di lautan. Profesi lamanya itu dilanjutkan oleh kedua putranya.

Di musim selatan seperti yang akan segera tiba ini, Johar dan kakaknya bisa menangkap lebih dari sepuluh ekor duyung dalam sebulan.

Dagingnya memang hanya Rp 40.000 sekilo; tetapi bila digabungkan dengan penjualan air mata dan taring, nilainya bisa mencapai puluhan juta rupiah.

Pembelinya pun datang dari berbagai penjuru. Bahkan, ada yang khusus datang dari China dan Singapura untuk membeli daging duyung.

“Enggak perlu (kita) jajakan (duyung). Kalau habis nangkap, orang itu datang sendiri. Di mana-mana tahu. Orang-orang datang sampai berebut-rebut,” kata Johar.

Iwan dari Badan Pengawas Desa Air Glubi pun mengakui bahwa walaupun duyung dilindungi oleh pemerintah, mayoritas penduduk Desa Air Glubi dan sekitarnya masih mengonsumsi duyung.

Terutama ketika mendekati bulan puasa, banyak orang yang membeli daging duyung dan dikumpulkan untuk lebaran.

“Saya sendiri pun makan,” katanya.

Mencari solusinya

Bagi Johar dan kakaknya, duyung adalah penghasilan utama mereka sehingga larangan pemerintah pun tidak ada artinya. “Bagi abang, selagi di laut tidak ada yang dilarang,” kata Johar.

Mereka pun tidak bisa mengerti kelangkaan duyung yang menurut International Union for Conservation of Nature berstatus rentan punah, karena tinggal di jalur migrasi mamalia laut tersebut.

Satu-satunya cara agar mereka mau berhenti menangkap duyung adalah memberi mereka pekerjaan lain yang bisa memenuhi kebutuhan hidup.

“Kalau memang ada program, harus juga disesuaikan dengan kebutuhan mereka dan ada jaminannya. Istilahnya ada kompensasi atau insentif, jadi mereka tidak lagi ambil (duyung) dengan sengaja,” ujar Iwan.

Iwan pun mengusulkan untuk menjadikan keahlian Munsa dan keluarganya sebagai aset wisata. “Turis sering minta lihat duyung. (Mereka) bisa bayar Pak Munsa untuk tangkap. Setelah divideo, nanti bisa dilepas lagi,” katanya.

Akan tetapi, Adriani Sunuddin, dosen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Kelautan dan Perikanan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang tergabung dalam Dugong & Seagrass Conservation Project (DSCP) menilai usulan Iwan tersebut sulit untuk dilaksanakan dan tidak ideal.

“Pertama, duyung adalah megafauna yang ukurannya jauh lebih besar dari manusia,” katanya.

Selain itu, duyung merupakan mamalia yang memiliki kecerdasan. Bila sering kali ditangkap di satu tempat, bisa jadi duyung beradaptasi dan berpindah habitat ke tempat yang mungkin jauh lebih berbahaya.

Adriani berkata bahwa dalam mencari solusi dari permasalahan keluarga Munsa dan pemburu duyung lainnya, dibutuhkan kajian mendalam mengenai sistem sosial mereka. “Itulah yang sedang saya coba pahami sekarang,” ujarnya.

Pengetahuan tersebut akan bisa digunakan untuk merancang program konservasi duyung yang lebih tepat sasaran, menjamin kebutuhan para pemburu duyung, dan melibatkan mereka.

“Karena konservasi paling tidak butuh tiga hal untuk dilakukan bersamaan, yaitu mengkaji, menyelematkan, dan memanfaatkan. Buat apa kita lindungi kalau kemudian tidak kita manfaatkan,” katanya.

https://sains.kompas.com/read/2018/04/27/205329223/jalan-pertobatan-pemburu-duyung-dari-desa-air-glubi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke