Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Membesuk Fransiska, Mendengar Misi Besar Dapat KIS dan Temui Presiden

JAKARTA, KOMPAS.com - "Baru ini saya bisa duduk dan tertawa," ucap Fransiska Enga (49), perempuan asal Nusa Tenggara Timur (NTT).

Selama setahun lebih, Fransiska sulit buang air kecil dan besar. Perutnya terus mengembang sedemikian sehingga sesak dan berjalan dua langkah saja terasa sangat payah.

Selasa (17/4/2018), tim medis Rumah Sakit Fatmawati akhirnya berhasil mengeluarkan cairan seberat 5 liter dari perut Fransiska.

Feses berwarna hitam bercampur lendir sedikit demi sedikit berhasil keluar. Secercah harapan untuk sehat seperti keluar dari mata Fransiska.

"Saya senang akhirnya bisa mengobrol. Awalnya kan tidur tidak tenang, menderita sekali,” kata Fransiska ketika ditemui Kompas.com.

Fransiska dan suaminya, Nikolaus Newa (60), belakangan ramai dibicarakan lantaran misinya ke Jakarta untuk bertemu Presiden Joko Widodo, menuntut Kartu Indonesia Sehat (KIS).

Setahun lebih berjuang, keduanya mendapatkan keberuntungan ketika ditemukan petugas petugas P3S Suku Dinas Sosial Jakarta Timur di kawasan Pasar Rebo.

Nikolaus dan Fransiska yang kehabisan ongkos lantas dibawa ke Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 Cipayung.

Atas respon Kementerian Kesehatan, Fransiska akhirnya dirujuk ke RS Fatmawati dan kini mendapatkan KIS.

Kepala Hubungan Masyarakat RSUP Fatmawati, Atom Kadam, mengatakan, Sabtu (14/4/2018) pukul 20.00 WIB, Direktur Utama RSUP Fatmawati dikontak oleh pihak Kementerian Kesehatan.

“Kami bentuk tim kecil untuk mengurusi Fransiska dan Nikolaus. Keduanya langsung kami jemput pagi hari sekitar pukul 06.00 WIB," katanya.

Perjalanan Panjang Pengobatan

Kompas.com yang membesuk pada Selasa pukul 10.00 WIB baru berkesempatan berbincang dengan keduanya pada pukul 13.00 WIB.  

Sedari pagi pukul 07.00 WIB, Fransiska dan sang suami sudah harus keluar dari ruang inap di Gedung Teratai menuju ruang radiologi di gedung yang berlainan.

Fransiska harus menunggu giliran antrian masuk untuk mendapatkan pemeriksaan diagnosis radiologi.  Pukul 11.00 WIB, tiba saatnya Fransiska dironsen.

Pemeriksaan tersebut rampung sekitar pukul 12.45 WIB dan pasangan itu pun menceritakan perjuangannya mendapatkan pengobatan.

Tahun lalu, berbekal beberapa potong baju yang dimasukkan ke dalam tas jinjing berwarna merah, Nikolaus nekat memboyong sang istri dari ke Jakarta.

Jarak Jakarta dan NTT memang dekat jika ditempuh dengan menumpang pesawat, tapi sangat melelahkan bagi pasangan suami istri itu sebab ditemuh dengan jalur darat dan laut.

“Istri saya dari tanggal 13 Desember 2017 perutnya membesar, susah buang air besar, dan buang air kecil. Semua pengobatan tradisional ataupun medis tidak mempan,” ujar Nikolaus.

“Kalau mau minum air rasanya tersangkut di tenggorokan. Saya bahkan sanggup enggak makan satu sampai dua hari gara-gara perut rasanya kenyang dan penuh,” imbuh Fransiska.

Kondisi itu membuat aktivitas keseharian perempuan asal Olalape, 3 Lape, Aesesa, Kabupaten Nagekeo, ini terhenti.

Aktivitas berjualan sayur di pasar terpaksa tidak lagi ia lakukan karena tubuhnya semakin kurus dan untuk berjalan saja napasnya berat dan tersengal.

Nikolaus awalnya membawa sang istri ke Rumah Sakit Umum Daerah Nagekeo yang berjarak lima kilometer dari rumahnya.

“Kami tidak punya motor, naik ojek ke sana atau menumpang angkot yang harus menunggu setengah jam sekali dan tidak beroperasi sampai sore,” kenang  Nikolaus.

Karena rumah sakit tidak mempunya sarana prasana memadai, akhirnya Fransiska dirujuk ke Rumah Sakit Ende menggunakan ambulans.

“Kami harus menempuh jarak sekitar 84 kilometer untuk memeroleh pengobatan layak,” kata Nikolaus.

Di Ende, Fransiska menjalani rawat inap selama lima hari. Ia lalu dipulangkan sebab telah dianggap sembuh. Indikatornya, sudah bisa buang air.

“Dokter sempat sedot perut saya yang bengkak. Cairan tidak keluar tapi darah yang terpancar. Dokter di sana takut dan sempat menyerah karena alat terbatas,” kata Fransiska meratapi.

Tindakan medis seperti operasi juga tidak dilakukan lantaran kendala alat dan ketersediaan dokter di sana.

Di NTT memang ada rumah sakit swasta yang memiliki fasilitas kesehatan memadai tapi tidak menanggung KIS.

Keduanya saat itu juga belum memiliki KIS padahal tergolong warga tidak mampu. Fransiska menambahkan, selama di Ende ia dirawat bersama 10 pasien lain dalam satu kamar.

Untuk biaya pengobatan, Nikolaus mengaku harus menyediakan uang setidaknya Rp 400 ribu setiap kali berobat. Uang tersebut untuk ongkos dan biaya hidup selama bolak-balik ke rumah sakit termasuk menebus obat seharga 30 ribu untuk empat butir.

Untuk hidup sehari-hari, pasangan ini hanya mengandalkan Nikolaus sebagai buruh penggarap lahan yang hanya berupah sekitar Rp 20 ribu hingga 50 ribu per hari.

Selama di Ende, Fransiska hanya diberi obat dan infus. Padahal hasil diagnosis menyatakan bahwa Fransiska mengidap hepatitis B, infeksi saluran kencing, dan kanker payudara.

Tiga hari dipulangkan, Fransiska masih saja menderita mual, susah makan dan minum yang berdampak pada sulitnya berak dan kencing.

Nikolaus mengatakan, istrinya sempat ditangani dengan pengobatan tradisional. Perut sang istri dibalur dengan daun-daunan, diharuskan meminum ramuan semacam jamu.

Nikolaus berkata bahwa empat tetangganya meregang nyawa akibat penyakit misterius yang gejalanya mirip dengan istrinya.

"Saya tidak ingin istri saya jadi korban berikutnya hanya gara-gara tidak punya uang dan Kartu Indonesia Sehat,” tegas Nikolaus.

Keberangkatan ke Jakarta

Senin (9/4/2018).Nikolaus berangkat ke jakarta. Uang saku ke Jakarta termasuk untuk membeli tiket dan kebutuhan makan diperoleh dari hasil menjual dua babi. Masing-masing babi dihargai Rp 2 juta dan Rp 2,5 juta.

“Kami tidak meminta pertimbangan siapa-siapa, tidak kabar-kabar ke tetangga, tidak disuruh siapa-siapa, cuma ingin istri saya sembuh. Sebab, di NTT belum ada alat yang bisa mengobati istri saya,” ujar Nikolaus.

Jakarta, bukan tujuan pertama yang mereka datangi. Mereka sempat transit dulu ke Rumah Sakit Dr.Soetomo di Surabaya.

Namun keberuntungan belum berpihak kepada mereka. Padahal mereka telah terombang-ambing di kapal Niki Sejahtera selama 36 jam untuk mencapai daratan Surabaya.

“Kami ditolak di sana, tidak bisa gratis. Karena tidak punya KIS. Untuk tes darah saja harus bayar Rp 400 ribu rupiah,” ungkap Nikolaus.

Nikolaus memang hanya menunjukkan surat rujukan dari lurah yang dipakai saat membawa istrinya ke Ende dan surat keterangan tidak mampu.

Dari situ, makin bulat tekadnya untuk menemui Presiden Joko Widodo. Menurutnya sebagai masyarakat kecil, presiden merupakan wakil dari pemerintah yang bisa memberikannya KIS sehingga istrinya bisa sembuh lewat penanganan rumah sakit di kota besar.

Di tengah perjalanan ke jakarta, dia sempat tergiur informasi sesama penumpang bus soal adanya tabib tersohor di Cilegon yang mampu menyembuhkan segala penyakit. Dia ke sana, merogoh uang Rp 400 ribu.

“Istrinya saya kepalanya diusap, perutnya semacam diberi mantra. Tapi tidak juga menunjukkan gejala pulih. Disuruh datang lagi tiga kali” kata Nikolaus.

Dari situ lantas ia teringat ada saudara di Jakarta. Ia lantas menaiki kereta lalu berhenti ke Jatinegara. Kemudian perjalanan dilanjutkan menggunakan angkot untuk menemui saudaranya di Pasar Rebo. Namun malang tak dapat ditolak, sangu mereka telah habis dan sang saudara tak kunjung ada kabar. Padahal, kondisi sang istri makin memburuk.

Hingga mereka akhirnya ditemukan oleh perempuan bernama Wiwin di Pasar Rebo  yang akhirnya mengarahkan ke petugas Dinas Sosial hingga diantarkan ke panti sosial.

“Kami diperlakukan baik dan diberi makan layak selama di panti. Untung ketemu Nona Wiwin,” kata Nikolaus berterima kasih.

 

Sesudah ditindaklanjuti oleh Kementerian Kesehatan melalui RSUP Fatmawati, Nikolaus beserta keluarga langsung dibuatkan KIS.

“Tim kecil dari RS Fatmawati bantu mengurus kartu. Jam 11 siang langsung jadi kartunya. Sehingga biaya pengobatan dan perawatan Fransiska ditanggung pemerintah,” imbuh Atom, Kepala Humas RSUP Fatmawati.

KIS tersebut, kata Nikolaus akan dipergunakan sebaik mungkin apabila anggota keluarganya menderita sakit. Ia tidak ingin mengulang kisah pilu yang harus ia lakoni saat ini.

Menurut Nikolaus, berkaca dari kasusnya, ia berharap pemerintah di NTT membenahi sistem pembuatan dan pemberian KIS.

Menurut pengalaman dan pengamatannya, KIS cenderung dibagikan kepada masyarakat yang dekat dengan pejabat setempat, baik dari tingkat RT hingga provinsi.

KIS belum dibagikan merata kepada orang yang membutuhkan sepertinya. Ia tidak ingin warga lain di NTT mengalami kisah sepertinya, harus sakit keras dulu, lalu berjuang ke Jakarta, baru dapat KIS dan berobat memadai.

“Pernah diminta tanda tangan, ditanyai, dan didatangi oleh petugas setempat, tapi kartu tak kunjung dapat. Petani-petani penggarap macam saya banyak yang tidak dapat. Banyak yang terlambat ditangani gara-gara tidak ada KIS,” keluh Nikolaus.

Kendati sudah mendapatkan KIS, niatnya untuk bertemu Presiden Joko Widodo tetap tak surut.

Ia berharap ada pihak yang mampu menghubungkannya dengan orang nomor satu di Indonesia tersebut. Pasalnya, meski pengobatan sang istri telah dijamin pemerintah, ia mengaku tidak memiliki ongkos pulang dan biaya hidup selama di Jakarta.

“Saya mengandalkan uang dari para penjenguk, ada yang kasih 100 ribu, 200 ribu. Itu saya pakai untuk menutup kebutuhan di sini,” ujarnya.

Kebetulan, di tengah wawancara tiba-tiba keponakan Nikolaus yang merantau dan ngekos di kawasan Gajah Mada Jakarta, datang menjenguk.

“Kami justru tahu setelah baca dari sosial media. Barulah kami hubungi saudara di kampung untuk memastikan,” kata Yadwilgas Bronis Tage.

Bron, sapaan akrabnya memang baru mengetahui kalau Fransiska dan Nikolaus nekat bertandang ke Jakarta. Sebab, mereka sudah sejak lama hilang kontak.

Lantas ia menaruh harapan besar semoga perjuangan Fransiska dan Nikolaus dapat diteruskan dan sampai ke telinga Presiden Joko Widodo.

https://sains.kompas.com/read/2018/04/18/120926023/membesuk-fransiska-mendengar-misi-besar-dapat-kis-dan-temui-presiden

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke