KOMPAS.com - Beberapa waktu belakangan, isu gempa bumi dan tsunami cukup meresahkan masyarakat. Setelah ancaman gempa megathrust bermagnitudo 8 di Jakarta; beberapa hari terakhir ini, masyarakat dikejutkan dengan berita potensi tsunami 57 meter.
Namun, sebetulnya potensi tsunami 57 meter di Pandeglang, Banten, Jawa Barat yang merupakan hasil kajian peneliti dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko ini bukan hal baru.
Pendapat tersebut disampaikan oleh Abdul Muhari selaku Chairman Sentinel Asia Tsunami Working Group melalui opininya di Harian Kompas, Selasa (10/04/2018).
"Jika dilihat kembali ke belakang tahun 1883, tsunami yang terjadi akibat letusan Gunung Krakatau membangkitkan tsunami dengan ketinggian berkisar 37 – 45 meter di Merak dan 22 meter di Teluk Betong (Bandar Lampung saat ini)," tulisnya.
"Jejak kedahsyatan tsunami Krakatau sampai saat ini masih terlihat dari batu karang sangat besar (boulder) dengan estimasi berat mencapai 600 ton yang terbawa tsunami sampai ke darat di kawasan pesisir Anyer," imbuhnya.
Kejadian tsunami pada 1883 tersebut sendiri diketahui menelan korban hingga 36,417 jiwa.
Abdul juga mengutip sejumlah data terkait tsunami di Indonesia.
"Seperti yang tertulis pada catatan Symons (1888) dalam Choi dkk (2003) dan Pelinovsky dkk (2005), begitu dahsyatnya tsunami tahun 1883 ini sampai menimbulkan 'osilasi gelombang yang tak wajar' di tempat-tempat yang sangat jauh," tulisnya.
Tempat-tempat yang dimaksud Abdul adalah seperti yang terekam pada alat pencatat pasang surut di Port Elizabeth di Afrika Selatan (1,58 meter), Aden-Yaman (37 sentimeter) dan English Channel (selat yang memisahkan Inggris dan Prancis) setinggi 6 sentimeter.
"Jadi, kawasan pesisir di daerah Selat Sunda merupakan kawasan yang ‘akrab’ dengan tsunami raksasa di masa lalu," tegas Abdul.
Beralih fokus pada solusi
Daripada berfokus pada ancamannya saja, Abdul berkata bahwa hal yang lebih penting untuk diketahui oleh masyarakat adalah solusi dan mitigasinya.
"Diskursus yang hanya fokus pada isu potensi ancaman bahaya ditangkap oleh masyarakat menjadi polemik yang meresahkan karena tidak dibarengi dengan solusi mitigasi yang terukur dan bisa diterapkan (applicable)," tulisnya.
"Apalagi belakangan isu ini berkembang jauh dari ranah sains yang menjadi koridor awal diskusi," sambung Abdul.
Menurut dia, jika pola diskursus kebencanaan yang seperti ini terus dilanjutkan, dikhawatirkan sasaran jangka panjang untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dalam arti yang sebenarnya tidak akan tercapai. Hal ini karena pembicaraan berhenti hanya pada ancaman bahaya saja.
Akibatnya, informasi komprehensif tentang yang harus dilakukan setelahnya (prediksi bencana) justru tidak didapatkan.
Justru, ujar Abdul, kajian ilmiah yang dilakukan oleh Widjo Kongko mungkin akan memberi pengaruh baik dalam hal mitigasi.
https://sains.kompas.com/read/2018/04/11/114500923/heboh-tsunami-57-meter-pakar-bilang-itu-bukan-hal-baru