Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Stroke, Terawan dan Cuci Otak, Bagaimana Masyarakat Harus Bersikap?

KOMPAS.com - Nama dr Terawan Agus Putranto akhir-akhir ini menjadi buah bibir di masyarakat. Pasalnya, metode "kuras otak" yang diterapkannya selama ini dianggap belum lolos uji ilmiah. Di sisi lain, penderita stroke yang "sembuh" setelah menjalani terapi ala Terawan tersebut bersikukuh sangat terbantu dengan pengobatan Terawan.

Perdebatan  masih berlangsung di kalangan para ahli di Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi induk para dokter di Indonesia juga sudah mengambil sikap. Namun, apakah masyarakat sudah benar-benar mengerti permasalahan di balik perdebatan "cuci otak" ala dokter Terawan tersebut?

Dilansir dari Kompas.id, Sabtu (7/4/2018), Handrawan Nadesul, seorang dokter, penulis buku, dan motivator kesehatan, menjelaskan bahwa stroke terjadi ketika otak kita tidak berfungsi normal karena sumbatan di pembuluh darah yang berfungsi mendukung kerja otak.

Hambatan di pembuluh darah itu, atau yang sering disebut plak, terbentuk karena atherosclerosis. Plak tersebut terbentuk karena sejumlah faktor, antara lain lemak darah (lipid) meninggi, diabetik, hipertensi, kegemukan, kurang bergerak, peradangan pembuluh, kebanjiran radikal bebas, tingginya sel pembeku darah platelet, keturunan, dan stres.

Kasus penyumbatan darah juga bisa terjadi karena emboli. Emboli adalah materi sisa plak yang terbawa aliran darah di pembuluh darah menuju otak dan akhirnya menyumbat pembuluh otak, terjadilah stroke. Biasanya materi sisa plak tersebut berasal dari jantung dan pembuluh darah leher carotid.

Selain itu, penyumbataan juga bisa terjadi di dinding pembuluh darah di otak karena faktor usia. Seiring berjalannya waktu, dinding pembuluh darah akan menjadi kaku dan keras (arteriosclerosis). Itulah mengapa stroke karena faktor usia sering tidak terkait dengan sejumlah faktor-faktor yang disebutkan sebelumnya.

Stroke juga bisa terjadi karena pecahnya pembuluh darah di otak karena lonjakan hipertensi atau anomali dalam pembuluh darah yang disebut stroke perdarahan. 

Menurut Handrawan, metode dokter Terawan memang bertujuan membersihkan sumbatan dengan memanfaatkan teknik pencitraan pembuluh darah otak DSA (digital substraction angiography) yang dimodifikasi dengan zat heparin dan eptifibatide.

Masalahnya, zat yang dipakai dan metode pemberiannya berbeda dengan standar penanganan pasien stroke pada umumnya, dan ini memunculkan kontroversi. Sejumlah ahli menganggap metode tersebut tidak memiliki dasar ilmiah dan belum sepenuhnya terbukti aman bagi pasien.

Pihak Perdossi, ikatan dokter ahli saraf kita yang diketuai Prof Dr Moch Hasan Machfoed, menjelaskan di sebuah jurnal internasional BAOJ Neurology bahwa pemakaian heparin dalam terapi stroke tidak memiliki dasar ilmiah. Hasan juga mempertanyakan hasil disertasi dokter Terawan terkait “kuras otak” yang ditulis dalam Bali Medical Journal.

Dalam dunia kedokteran, sudah disepakati untuk penanganan stroke adalah dengan pemberian infus r-TPA (recombinant-Tissue Plasminogen Activator) untuk melarutkan sumbatan atau thrombolysis sebelum pasien melewati waktu golden hour, 3 jam sejak serangan stroke terjadi.

Infus ini juga disepakati tidak diberikan pada stroke jenis perdarahan. Dalam kasus semacam itu, dokter langsung membuka otak dan mengangkat darah beku di otak apabila cukup besar.

Sementara itu, dalam dunia kedokteran teknik DSA hanya dikenal sebagai alat diagnostik untuk melihat kelainan pembuluh darah otak.

Handrawan berkata bahwa tidak semua kasus sumbatan pembuluh darah di otak akan mengakibatkan stroke. Apabila area sumbatan masih kecil, tidak berarti stroke akan terjadi.

Namun, area tersebut akan terlihat layu dan mati ketika dilihat dari scan. Kondisi seperti itulah yang sering disebut "silent stroke", yaitu sudah ada tanda-tanda stroke namun belum terjadi serangan stroke. Gejala pengidap "silent stroke" adalah mudah lupa atau mengalami defisit neurologis ringan.

Berdasar rumor yang diperoleh Handrawan, Terawan melakukan metodenya terhadap pasien tipe "silent stroke" ini.

Menyikapi kontroversi yang berkembang di masyarakat, Handrawan mengatakan bahwa ada dua hal penting, uji ilmiah dan kode etik. Sebuah inovasi baru harus melalui sejumlah tahapan pembuktian ilmiah sesuai standar yang berlaku, dan tidak hanya berpatokan pada khasiat menyembuhkan penyakit, tetapi juga keamanan bagi pasien.

Pengujian secara ilmiah terhadap zat herapin atau zat lain yang digunakan Terawan juga harus dilakukan untuk memastikan layak tidaknya zat tersebut.

Handrawan mencontohkan mekanisme lembaga FDA di Amerika Serikat yang mengawasi secara ketat peredaran obat-obatan. FDA tidak hanya berpatokan pada khasiat sebuah obat saja, tetapi juga mengawasai metode terapi yang diberikan seorang dokter.

Terkait kode etik, Handrawan menjelaskan bahwa cara pandang praktisi medis bahwa tubuh pasien bukanlah mesin merupakan patokan utama. Selain itu praktisi medis juga menjunjung tinggi nilai kepatuhan terhadap nilai etika, tunduk pada regulasi, dan taat pada prinsip moral.

Handrawan menyoroti teknik DSA yang dilakukan Terawan merupakan tindakan melanggar etika karena memasukan sesuatu zat ke dalam tubuh yang mungkin mengandung risiko dan efek tertentu. Hal tersebut mungkin tidak disadari oleh masyarakat yang kurang memahami efek kimiawi di dalam tubuh.

Terakhir, dia juga menyayangkan munculnya opini di masyarakat yang menyatakan kesembuhan setelah menjalani terapi "kuras otak" dari Terawan. Dia pun menghimbau pihak medis untuk segera turun tangan mengatasai kesalahpahaman ini.

https://sains.kompas.com/read/2018/04/07/180600623/stroke-terawan-dan-cuci-otak-bagaimana-masyarakat-harus-bersikap-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke