Sesuai dengan prediksi astronom amatir Marufin Sudibyo, yang diberitahukan kepada Kompas.com, Selasa (27/3/2018), Tiangong 1 tidak jatuh di Indonesia.
Sampah luar angkasa sebesar bus tingkat dengan berat 8,5 ton itu jatuh di Samudra Pasifik, tepatnya di Pasifik Selatan pada hari ini (2/4/2018) sekitar pukul 07.16 WIB.
Hal tersebut diwartakan laman resmi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Menjelang jatuh
Sebelum jatuh, Lapan mengungkap pada Senin (2/4/2018) pukul 00:50 WIB lintasan Tiangong 1 melewati Samudera Atlantik, Afrika, Asia, dan berakhir di Samudra Pasifik.
Dalam sebulan terakhir, Tiangong 1 mengalami penurunan ketinggian rata-rata sebesar 3.2 km per hari.
"Jika ketinggiannya mencapai 120 km, maka ia dianggap mengalami atmospheric reentry sehingga semakin cepat jatuh ke permukaan Bumi," tulis laman Lapan dalam laporannya, yang dilansir pada Senin (2/4/2018).
Panas dan tekanan yang dialami setelah reentry akan mengakibatkan Tiangong 1 terbakar. Sisa serpihannya dapat terlempar ke wilayah lain yang panjangnya bisa mencapai ribuan kilometer dengan lebar puluhan kilometer di permukaan bumi.
Tentang Tiangong 1
Dilansir dari laman resmi Lapan, Tiangong 1 diluncurkan pertama kali pada 30 September 2011 dari Jiuquan Satellite Launch Center, China.
Lima tahun kemudian Tiangong 1 mengakhiri masa kerjanya. Otoritas antariksa China melaporkan pada 16 Maret 2016 bahwa Tiangong 1 mengalami kerusakan dan tidak dapat dikontrol lagi.
Akhirnya pada Kamis, (4/5/2017), China melaporkan kepada Komite PBB untuk penggunaan aktivitas antariksa secara damai (United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space-UNCOPUOS) mengenai Tiangong 1 yang akan mengalami re-enty atau masuk kembali ke atmosfer bumi.
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin, berkata kepada Kompas.com Senin (12/3/2018), stasiun luar angkasa jatuh ke bumi bukan hal yang baru. Stasiun luar angkasa selalu menghadapi hambatan atmosfer. Ketika ia turun, roket kendali akan menaikkan stasiun luar angkasa lagi ke titiknya.
"Pada 2016, Tiangong 1 dilaporkan sudah tidak dapat naik lagi. Ini bisa karena bahan bakar yang menipis dan umurnya juga sudah relatif tua. Karena sudah tidak bisa lagi dikendalikan, akhirnya dilepaskan dari ketinggian 350 kilometer," kata Thomas.
https://sains.kompas.com/read/2018/04/02/124500823/tiangong-1-kembali-ke-bumi-jatuh-di-samudra-pasifik