KOMPAS.com - Apa yang Anda pikirkan ketika melihat foto di atas? Mungkin Anda berpikir hanya perlintasan kereta api di sebuah gurun atau wilayah berpasir.
Sayangnya, foto tersebut menunjukkan bahwa gurun Sahara di Afrika semakin meluas. Ya, foto tersebut menunjukkan bahwa gurun Sahara mulai merambah ke negara-negara di sekitarnya yang lebih tropis.
Melihat tren ini, para peneliti memperingatkan negara sekitar untuk waspadai "pertumbuhan" gurun ini.
Berdasar penelitian yang diterbitkan dalam Jurnal of Climate, gurun dengan luas sekitar 9 juta kilometer persegi tersebut, tanpa disadari merambah ke arah selatan atau ke wilayah Sudan dan Chad.
Vegetasi hijau dan lahan pertanian banyak yang berubah menjadi hamparan gurun dan kering kerontang di kedua wilayah tersebut.
Namun, hal yang justru paling membuat penelitikhawatir adalah tingkat curah hujan di musim kemarau di Afrika. Curah hujan di benua tersebut menurun drastis akibat perubahan iklim.
"Jika ada badai datang tiba-tiba, langsung mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat. Namun, meluasnya gurun pasir ini tidak kentara dan terjadi tanpa kita sadari," kata Sumant Nigam, seorang profesor ilmu atmosfer dan kelautan dari Universitas Maryland dikutip dari Washington Post, Kamis (29/03/2018).
Menurut Nigam, pertumbuhan ini bisa juga terjadi pada gurun lain akibat perubahan iklim.
Untuk diketahui, gurun terbentuk di daerah subtropis akibat sirkulasi cuaca global yang disebut sel Hadley.
Ketika udara panas naik di atas wilayah tropis, sekitar khatulistiwa, itu akan menghasilkan hujan serta badai petir. Tapi hal yang berbeda terjadi pada wilayah subtropis.
Saat menyentuh atmosfer, udara panas tersebut justru menyebar ke arah kutub utara dan selatan. Dengan kata lain, udara tidak tidak turun kembali ke wilayah subtropis di bawahnya.
Akibatnya, di wilayah tersebut udara menjadi panas dan mengering. Ini yang membuat gurun tercipta dan atau menjadi wilayah dengan curah hujan sedikit.
"Perubahan iklim kemungkinan besar mempengaruhi sirkulasi Hadley dan menyebabkan gurun subtropis di wilayah utara meluas," kata Nigam.
Pada saat bersamaan, perluasan selatan gurun Sahara terjadi akibat Atlantic Multidecadal Oscillation (AMO). AMO adalah kondisi saat terjadi fluktuasi suhu hangat dan dingin di sebagian besar wilayah Samudera Atlantik dalam kurun waktu 50 hingga 70 tahun.
Siklus hangat akan mengirimkan curah hujan ke daerah subtropis dan siklus dingin justru menjauhkannya.
Selain itu, perubahan iklim yang disebabkan oleh ulah manusia, juga dapat meningkatkan intensitas dan lamanya siklus kemarau yang lebih panas.
Temuan ini didapatkan Nigam dan Natalie Thomas, kandidat doktoral di Universitas Maryland, dengan menggunakan data dari Global Precipitation Climatology Center. Data tersebut mereka gunakan untuk meneliti petunjuk dan pola curah hujan dari tahun 1920 hingga 2013.
Pola curah hujan itu latas dikompilasikan dengan data satelit selama kurang lebih "tiga dekade terakhir".
Keduanya memastikan bahwa saat fase positif sekitar awal tahun 1930-an hingga awal 1960-an. Pada tahun-tahun tersebut, AMO mengirimkan lebih banyak hujan ke wilayah sekitar Sahara.
Sayangnya, fase tersebut kemudian beralih menjadi siklus negatif yang terjadi selama 40 tahun terakhir ini.
Selama fase kedua, Sahara meluas ke arah selatan dan merambah daerah yang lebih tropis, atau dikenal sebagai Sahel. Fenomena ini dibuktikan oleh jumlah air yang mengalir ke Danau Chad.
"Tingkat air telah turun drastis," kata Nigam.
“(Danau) itu sangat terkuras. Kami tidak dapat mengkaitkan semuanya itu dengan curah hujan, bisa jadi disebabkan oleh faktor manusia, tapi hal ini adalah bukti nyata gurun Sahara mulai merambah ke selatan," katanya.
Sementara itu, bencana kekeringan pada tahun 1980 dianggap "yang paling kuat dari abad ke-20" dan dianggap menjadi bencana terparah akibat efek gas rumah kaca.
Menurut peneliti, benua Afrika menjadi paling rentan terhadap efek perubahan iklim karena fitur geografisnya yang unik. Misalnya, sebuah daratan hampir semua dibagi antara belahan Selatan dan Utara dan menciptakan berbagai zona iklim.
Thomas mengatakan, penelitiannya kali ini bertujuan untuk mengetahui pola kecenderungan perambahan gurun dalam jangka panjang. Terutama ini terjadi di Belahan Bumi Afrika Utara, ketika melihat tren yang sangat kuat terlihat di Sahara.
Sementara itu, para peneliti berharap pemerintah setempat untuk tidak mengabaikan perambahan gurun tersebut.
"Penemuan itu mengesankan karena (perambahan) itu terjadi di musim panas dimana turunnya hujan sangat penting untuk pertanian di Afrika," kata Nigam.
Peneliti juga mengingatkan pemerintah Sudan dan Chad akan risiko di masa depan akibat meluasnya gurun Sahara tersebut.
"Perencanaan sumber daya air, penggunaan air dan perencanaan jangka panjang adalah hal yang penting," tutupnya Nigam.
https://sains.kompas.com/read/2018/04/01/170000423/gurun-sahara-terus-tumbuh-apa-artinya-bagi-manusia-