KOMPAS.com - Sebuah adegan di film Tomb Raider yang sedang tayang di bioskop menggambarkan bagaimana Lara Croft berusaha membuka sebuah makam kuno.
Sarkofagus ini diketahui merupakan milik ratu Jepang abad ke-3 yang konon dapat membunuh orang hanya dengan sentuhannya.
Begitu makam dibuka, mayat Himiko hancur menjadi debu dan semua orang yang terkena debunya mengalami pembusukan yang menjalar ke seluruh tubuh.
Walaupun terdengar mustahil, arkeolog sekaligus pemburu makam Scott Warnasch berkata bahwa cerita ini bisa saja terjadi di dunia nyata. Menurut dia, dalam kehidupan nyata apa yang dilakukan Lara bisa jadi sama berbahayanya dengan adegan film tersebut.
"Patogen dapat menjadi perhatian serius para arkeolog dan antropolog forensik. Keselamatan yang tepat harus dilakukan setiap saat ketika menangani sisa-sisa manusia," kata Warnasch.
"Meski saya tidak mengetahui ada orang lain yang terkena suatu penyakit karena menangani sisa-sisa mayat manusia, tapi tetap saja ada kemungkinan untuk itu," jelasnya.
Pada tahun 2011, Warnasch sendiri terlibat menganalisis peti mati besi milik Lady of Queens, tubuh perempuan Afrika-Amerika di Elmhurst, Queens, Amerika Serikat.
Saat memeriksanya, dia dan tim antropolog forensik menyadari bahwa tubuh perempuan itu telah terbungkus dalam peti besi selama lebih dari 160 tahun karena menderita cacar, virus mematikan penyebab kematian massal.
Masalahnya, tidak ada yang tahu berapa lama patogen mematikan ini bisa bertahan di dalam mumi.
"Dari apa yang saya pelajari dalam pemeriksaan peti tersebut, virus dapat bertahan selama beberapa tahun jika disimpan di lingkungan yang sejuk dan gelap seperti makam atau peti mati tertutup," katanya.
"Ada laporan tentang cacar yang disebarkan melalui pakaian, sprei bahkan jika tubuh telah membusuk, virus mungkin ada di kain yang tersisa," paparnya lagi.
Warnasch juga berkata bahwa selain cacar, masih ada patogen lain yang bisa bertahan dalam kondisi tersebut. Jika tubuh diawetkan dengan baik, kolera dan demam tifoid, dua penyakit mematikan lainnya, berpotensi juga mendatangkan malapetaka pada arkeolog yang tidak curiga.
"Bagian paling menakutkan adalah bahwa arkeolog sering tidak tahu apa yang mereka hadapi ketika menghadapi sisa-sisa jasad manusia," ungkap Warnasch.
Letak situs-situs arkeolog seperti di gua, tempat bersejarah, dan tanah pemakaman jarang dikunjungi. Dengan demikian, situs-situs ini merupakan tempat berkembang biak yang ideal bagi beberapa patogen mematikan dan hewan-hewan pendukung keberadaan patogen tersebut.
Sebagai contoh adalah Hantavirus, virus yang menyebabkan penyakit paru-paru langka ini hidup di antara hewan pengerat yang hidup di daerah gelap dan jarang tersentuh. Spora dan jamur juga bisa tumbuh subur di sana. Hal ini bisa jadi bahaya besar ketika mereka tercerai berai selama penggalian.
Membuka makam kuno juga bisa jadi petaka karena ketidaktahuan arkeolog akan bahan-bahan kimia. Arkeolog bisa saja tidak mengetahui bahan kimia yang digunakan untuk merawat tubuh dalam persiapan penguburuan.
"Zat seperti arsenik, yang merupakan bahan utama dalam ramuan pembalseman digunakan selama periode Perang Saudara. Arsenik digunakan agar jasad tidak rusak. Ada kemungkinan juga kalau bahan kimia jahat lainnya digunakan dalam proses pengawetan dan jika tahu, Anda pasti tidak ingin menghirupnya," katanya.
Ada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Oleh karena itu, Warnasch menyarankan untuk melakukan penanganan khusus ketika berhadapan dengan sisa-sisa manusia.
https://sains.kompas.com/read/2018/03/21/070600423/bukan-fiksi-penyakit-mumi-tomb-raider-bisa-terjadi-di-dunia-nyata