Pengalaman Bakri (39) asal Sigi, Sulawesi Tengah, bisa menjadi contoh. Dia didorong penuh oleh keluarganya untuk berobat.
Bakri terjangkit kusta setelah menikah. Dia beruntung karena istri sama sekali tidak jijik dan memacunya beronbat ke puskesmas.
“Waktu itu tahun 1992, istri malah tidak takut saat saya kena kusta. Ia justru menyuruh saya mendatangi puskesmas,” ujarnya.
Serupa dengan Bakri, keluarga juga melecutkan semangat Sulfikar, pemuda asal Gowa Sulawesi Selatan.
Ia mengaku bersyukur memiliki keluarga yang sudah memahami bahwa penderita kusta tidak pantas dijauhi. Keluarga, sebutnya menjadi pengingat untuk rutin berobat.
“Besar sekali peran keluarga bikin saya sembuh. Mereka selalu mengontrol saya minum obat,” katanya.
Sulfikar yang didiagnosis kusta pada tahun 2013 berhasil terbebas penyakit kusta selang dua tahun kemudian.
Pelaksana Program Kusta Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan, Ahmadi Arief menuturkan, seseorang yang didiagnosis kusta memerlukan bantuan orang lain untuk pulih.
Keluarga berperan untuk memberikan kebahagiaan yang sempat terenggut setelah divonis kusta.
“Keluarga sangat menentukan stres atau tidaknya pasien kusta. Ini memengaruhi reaksi kusta,” ujarnya.
Reaksi kusta yang dimaksud adalah saat tubuh pasien menunjukkan respon terhadap obat yang dikonsumsi.
Reaksi ini umumnya menimbulkan kulit kering, terkelupas, dan nyeri pada sendi. Reaksi ini cenderung terjadi saat penderita mengalami stres.
Untuk itu, kata Ahamdi, keluarga jangan sampai membuat pasien stres karena dijauhi dan tidak diperhatikan.
https://sains.kompas.com/read/2018/03/20/181337323/penyembuhan-kusta-keluarga-penting-untuk-dorong-semangat