Pasalnya, perbandingan penderita lupus antara laki-laki dan perempuan yakni 1:9. Dengan kata lain, perempuan lebih rentan terkena lupus.
Iris Rengganis, dokter spesialis dalam dari Divisi Alergi Imunologi Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM menyatakan, kerentanan itu mungkin dipengaruhi estrogen.
Hal ini sampaikan dalam konferensi pers peringatan hari ginjal sedunia di Jakarta, pada Rabu (7/3/2018).
Menurut Iris, faktor hormonal endogeneous (dari dalam tubuh) memang tidak selamanya memicu penyakit autoimun ini.
Namun kehamilan dan menstruasi sebagai variasi biologis pada perempuan merupakan faktor penyebab prevalensi tinggi pada perempuan.
“Angka pertumbuhan penyakit ini juga terlihat saat sebelum atau selama menstruasi. Semakin menguatkan kalau estrogen bisa jadi memunculkan penyakit ini,” paparnya.
Salah satu jenis lupus yang mengancam perempuan adalah lupus nefritis. Ini terjadi kala lupus menyerang ginjal.
"Ginjal bisa mengalami kerusakan akut hingga berujung gagal ginjal akut atau tahap akhir,” kata Iris.
Salah satu tanda lupus nefritis adalah adanya protein yang keluar bersama urin. Ini disebut proteinuria. Ditetapkan lupus nefritis jika proteinuria telah melebihi 0,5 gram.
Lupus nefritis bisa diketahui dengan jalan biopsi, mengambil sampel jaringan pada ginjal. Pemeriksaan darah juga perlu dilakukan untuk memastikan kandungan kreatinin dan urea.
Dari data RSCM, tercatat kasus nefritis lupus memang lebih banyak perempuan.
Pada tahun 2015, presentase perempuan yakni 88,1 persen dan untuk laki-laki 11,9 persen. Pada tahun 2017, perempuan nefritis lupus sebanyak 93,6 persen dan laki-laki hanya 5,7 persen.
Sementara menurut Indonesian Renal Registry 2016, pasien baru gagal ginjal yang butuh dialisis adalah 53.000 orang dan 1 persen di antaranya (530 orang) disertai komplikasi ginjal.
https://sains.kompas.com/read/2018/03/19/214657223/lupus-nefritis-mengancam-perempuan-harus-lebih-waspada