Penyakit kusta oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai penyakit kutukan atau hasil guna-guna.
Namun diantara mereka yang terpuruk, selalu ada yang bangkit dan sintas dari ancaman kusta. Ernawati (29) salah satunya.
Tahun 2007, warga desa Kanjilo, Kecamatan Baromobong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Sabtu (17/3/20. Kala itu, dia habis merantau dari Kalimantan.
Dia merasakan ada keanehan dalam tubuhnya. Ada bercak putih pada kaki dan tangan yang sangat mengganggu. Akhirnya ia memeriksakan diri ke puskesmas dan didiagnosis kusta.
“Penyakit ini bikin saya dikucilkan. Dianggap karena hasil guna-guna akibat menolak lelaki,” ujarnya seraya berkaca-kaca.
Awalnya, Ermawati yang belum sanggup menghadapi cemoohan dari masyarakat memilih tidak melanjutkan perawatan medis ke dokter.
Ermawati seharusnya menjalani pengobatan selama satu tahun. Namun ia malah memutus pengobatan dalam dua bulan pertama.
Karena keenggannya untuk menjalani pengobatan, kusta malah menggerogoti lebih parah hingga menimbulkan luka di sekujur tubuh. Dia opname selama dua bulan.
“Badan saya waktu itu diperban tiga minggu, saking penuh luka. Betapa menderitanya menderita penyakit ini,” ucapnya sembari terisak.
Dari situ, ia berjanji untuk tidak melanggar aturan dalam pengobatan kusta. Untungnya, ia belum sampai mengalami kecacatan organ akibat kusta.
Pengobatan kusta ia rutin jalani termasuk meminum obat clofazimine dan dapsone. Tak sehari pun ia lewatkan minum obat tersebut selama kurang lebih dua tahun.
Tetangga yang meremehkannya tidak ia gubris. Yang ia pikirkan adalah kesembuhannya.
Pada tahun 2010, ia dinyatakan terbebas dari penyakit kusta. Semua itu berkat dukungan dari keluarga yang tak henti.
Ermawati kini menjadi salah satu pejuang yang menyebarluaskan pesan anti diskriminasi terhadap pasien kusta.
Ia ingin pasien kusta tidak mengalami perlakuan seperti dirinya kala diketahui menderita kusta. Ia pun berharap pasien kusta juga memiliki keberanian dan semangat juang untuk sembuh.
Selain itu, pasien kusta perlu memupuk rasa percaya diri agar tidak menarik diri dari pergaulan.
“Kalau perempuan dengan kusta lalu kesannya sukar dapat jodoh. Ini sedih,” katanya.
Serupa dengan Ermawati, kebahagiaan masa kecil Rahmawati (27 tahun) harus terenggut oleh stigma negatif yang diterimanya dari masyarakat.
Namun saat itu ia belum terlalu menyadari betapa menohoknya perlakuan masyarakat terhadap pasien kusta.
“Saat itu masih kelas lima SD, belum terlalu mengerti. Kalau sekarang baru kerasa jahatnya,” ujarnya.
Ermawati dan Rahmawati kini berkiprah di Perhimpunan Mandiri Kusta. Keduanya bersama-sama anggota lain menyosialisasikan pentingnya masyarakat menghargai pasien kusta.
Pasien kusta, menurut mereka, bukan untuk dijauhi tapi justru harus dirangkul agar bisa berdaya.
https://sains.kompas.com/read/2018/03/18/201132223/kisah-ernawati-menaklukkan-kusta-yang-menggerogoti-tubuhnya