KOMPAS.com — Setelah Albert Einstein, ilmuwan yang paling dikenal banyak orang adalah Stephen Hawking.
Pemikiran pengarang A Brief History of Time tersebut sangat berpengaruh di dunia kosmologi, dan salah satu satu mahakarya bersama rekannya, Sir Roger Penrose, tentang teori relativitas umum milik Einstein melambungkan namanya.
Hawking menunjukkan bahwa di dalam teori ruang dan waktu, ternyata ada awal, yaitu Big Bang, dan berujung dengan akhir berupa lubang hitam.
Dari situ, dia pun melahirkan konsep Radiasi Hawking yang menyatakan bahwa lubang hitam tidaklah diam, tetapi memancarkan radiasi yang pada akhirnya membuat lubang hitam meledak dan menghilang.
Pendapatnya yang fenomenal ini membuat manusia mampu merevolusi cara pandang mereka tentang alam semesta.
Namun, Hawking tidak pernah mendapat penghargaan Nobel di bidang fisika hingga dia menutup mata pada 14 Maret 2018.
Hal ini karena aturan Komite Nobel yang menyatakan bahwa seluruh teori ilmiah harus dikonfirmasi oleh data hasil pengamatan komite sebelum dinyatakan masuk nominasi.
Padahal, teori lubang hitam dan pemikiran kritis Hawking lainnya sangat sulit untuk diamati, dan mungkin butuh beberapa dekade untuk membangun alat pengujinya.
Sebagai gambaran, teori Einstein tentang gelombang gravitasi yang diciptakan sekitar tahun 1920 baru terbukti pada tahun 2016.
Hal yang sama juga terjadi pada teori Radiasi Hawking. Butuh waktu dan tentunya biaya yang banyak untuk menciptakan teknologi yang bisa mengklarifikasi kebenaran teori tersebut.
Meski tak pernah menyabet Nobel semasa hidupnya, Hawking tetap diakui dunia sebagai duta besar ilmu pengetahuan karena pengaruhnya yang sangat nyata.
Hal tersebut dapat dilihat dari penghormatan dan rasa duka para tokoh dunia, ilmuwan, dan masyarakat luas yang ada media sosial.
https://sains.kompas.com/read/2018/03/15/200800323/ini-alasan-stephen-hawking-tak-pernah-dapat-nobel-fisika-semasa-hidup