KOMPAS.com - Gawai saat ini menjadi salah satu perangkat yang hampir selalu wajib ada bagi manusia. Salah satu gawai yang sering digunakan adalah smartphone atau telepon pintar.
Kegunaannya bermacam-macam. Mulai dari berkomunikasi seperti telepon atau mengirim pesan, hingga mengingatkan jadwal pekerjaan.
Bahkan, smartphone nyaris digunakan dari bangun tidur hingga akan kembali tidur. Tujuannya adalah mempermudah hidup manusia.
Namun, tubuh manusia juga memiliki tanggapan ketika terlalu sering terpapar smartphone. Salah satu bagian tubuh yang bereaksi adalah otak.
Sayangnya, reaksi otak ini tergolong buruk. Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian.
Membuat Stres
Sebuah penelitian menemukan bahwa saat ini 89 persen mahasiswa melaporkan adanya getaran telepon palsu. Maksudnya adalah, mereka membayangkan telepon mereka bergetar seolah-olah mendapatkan notifikasi padahal gawai mereka tidak benar-benar bergetar.
Selain itu, para peneliti juga menyebut bahwa 86 persen orang Amerika saat ini selalu memeriksa email dan media sosial mereka secara terus menerus. Hal ini menyebabkan mereka stres.
Robert Lustig, seorang ahli endokrin mengatakan, notifikasi dari telepon melatih kita untuk berada dalam keadaan stres dan ketakutan yang hampir konstan.
Keadaan ini berarti korteks prefrontal, bagian otak yang biasanya berhubungan dengan beberapa fungsi kognitif akan benar-benar rusak dan pada dasarnya mati.
"Anda akhirnya melakukan hal-hal bodoh," kata Lustig dikutip dari Business Insider, Sabtu (10/03/2018).
"Dan hal-hal bodoh itu membuat Anda bermasalah," tegasnya.
Tak Bisa Multi-tasking
Para ilmuwan selama ini percaya bahwa manusia tidak bisa benar-benar multi tasking atau melakukan beberapa pekerjaan sekaligus. Hanya ada 1 di antara 50 orang yang benar-benar bisa menjadi melakukan beberapa pekerjaan dalam satu waktu.
Namun, multi-tasking saat ini menjadi hal yang lumrah dilakukan banyak orang. Contohnya, banyak orang menelepon sekaligus menyetir.
Meski kadang-kadang beralih dari satu pekerjaan ke satu pekerjaan lain hanya membutuhkan waktu persepuluh detik, namun ada hal-hal yang akan menjadi korban. Salah satunya adalah cara seperti ini lebih rawan kesalahan.
Artinya, salah satu tugas mungkin tidak terselesaikan dengan baik. Dalam contoh di atas mungkin Anda kehilangan konsentrasi saat menyetir sambil menelpon.
David Meyer, seorang psikolog, mempelajari efek ini dan memperkirakan bahwa pergantian antar-tugas menghabiskan sebanyak 40 persen waktu otak kita yang tidak produktif.
Menurut Lustig, setiap kali beralih pekerjaan, kita meningkatkan dosis hormon stres kortisol dalam tubuh.
Selain itu, hal ini juga membuat kita berpikir keras. Itu membuat korteks prefrontal kita "tidur" dan menghilangkan hormon dopamin dalam otak.
Stres yang terjadi saat kita melakukan banyak hal sekaligus mungkin tidak membuat kita sakit. Tapi, hal ini menyebabkan kita menginginkan lebih banyak "beristirahat" dan menghentikan dopamin dalam otak, yang melanggengkan siklusnya.
Bikin Otak Malas
Tahukah Anda, otak manusia hanya bisa memproses informasi sekitar 60 bit per detik? Artinya, semakin banyak tugas yang harus dilakukan, makin kita harus memilih bagaimana ingin menggunakan kekuatan otak.
Inilah yang membuat kita selalu ingin melimpahkan beberapa beban pekerjaan pada gadget atau asisten digital.
Sayangnya, hal tersebut terbukti membuat otak kita malas. Hal ini ditemukan oleh para peneliti dari University of Waterloo.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Computers in Human Behavior ini menemukan bahwa pengguna smartphone merupakan pemikir intuitif atau cenderung mengandalkan perasaan dan naluri saat membuat keputusan. Artinya, mereka lebih sering mengandalkan mesin pencari di perangkat mereka daripada menggunakan otak mereka sendiri.
"Mereka mungkin mencari informasi yang sebenarnya telah diketahui atau dapat dipelajari dengan mudah, namun mereka tidak mau benar-benar berusaha memikirkannya," ungkap Gordon Pennycook, penulis utama penelitian tersebut dikutip dari Science Newsline, Kamis (05/03/2015).
Membebani Otak
Sebuah penelitian baru yang dipublikasikan dalam jurnal Digital Medicine menemukan hubungan yang tak biasa dari kegiatan yang melibatkan smartphone yang berpotensi mengganggu kerja otak.
Para peneliti menemukan bahwa semakin sering orang mengunakan smartphone dan media sosial, membuat otak mereka makin "berisik". Kombinasi "bersosialisasi" dan penggunaan smartphone memberi banyak beban pada otak kita.
"(Perilaku sosial) mungkin membutuhkan banyak tenaga pada saat bersamaan," kata Arko Gosh, penulis penelitian tersebut.
Menyenangkan
Tak selamanya smartphone memberi efek buruk pada otak kita.
Mungkin memang memeriksa sosial media kita secara terus menerus memberi efek adiktif atau kecanduan. Tapi, beberapa aplikasi adiktif tersebut juga membangun beberapa penghargaan pada otak manusia.
Ada lonjakan kesenangan saat seseorang memberi komentar atau menyukai hal yang kita unggah di media sosial.
Sayangnya, hal itu seperti perjudian. Kita tidak pernah tahu kapan itu akan terjadi. Saat tidak terjadi, kadang kala ini menyebabkan otak kita menjadi "gila".
Lustig mengatakan bahwa aplikasi semacam ini tidak inheren jahat. Mereka hanya menjadi masalah ketika terlalu sering digunakan dan akhirnya mengganggu kita, membuat kita selalu menginginkan lebih.
https://sains.kompas.com/read/2018/03/13/113300823/bagaimana-respons-otak-saat-kita-gunakan-smartphone