KOMPAS.com - Harimau masuk ke pemukiman warga tentu merupakan peristiwa langka dan cenderung membuat takut. Bahkan, saking membuat takutnya, kejadian seperti di Sumatera Utara beberapa hari yang lalu sangat mungkin terjadi kembali.
Padahal, seperti yang kita tahu, harimau Sumatera kini diambang kepunahan. Berdasarkan laporan WWF, data tahun 2004 menunjukkan jumlah populasi harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di alam bebas hanya sekitar 400 ekor saja.
Hal ini membuat kita perlu waspada agar peristiwa di Sumatera Utara beberapa waktu lalu tidak terulang kembali, mengingat jumlah harimau yang makin sedikit.
Salah satu cara untuk menghindari terbunuhnya harimau adalah mencegah konflik harimau dan manusia.
Namun, bagaimanakah mencegah konflik ini terjadi?
Pencegahan
Untuk menjawab pertanyaan ini, Kompas.com menghubungi Sunarto, ahli ekologi satwa liar di World Wildlife Fund (WWF) Indonesia melalui sambungan telepon pada Senin (05/03/2018).
Sunarto menyebut bahwa idelanya, sebelum masuk kampung, pemahaman masyarakat tentang harimau ditingkatkan.
"Jadi bukan menunggu harimau masuk kampung dulu baru kita merespon," ungkap Sunarto.
"Idealnya, daerah-daerah yang adalah wilayah jelajah harimau, saya sih berharap masyarakatnya paham bahwa ini ada risiko harimau akan melintas," sambungnya.
Menurutnya, jika dalam kondisi normal, di Sumatera khususnya, harimau akan menghindari penglihatan orang. Dengan kata lain, biasanya harimau bersembunyi dari manusia.
"Jadi kalau, sampai harimau berkeliaran, tidak ada rasa takut, itu kasusnya biasanya sudah sangat spesifik," ujarnya.
Penyebab inilah yang harus dipahami oleh warga tempat harimau tersebut melintas.
"Penyebabnya itu ada perubahan, entah itu di individu harimaunya atau di bentang alamnya sendiri. Ketika misalnya dia tidak punya tempat lagi untuk bersembunyi," kata Sunarto.
"Ini yang harus dipahami semua pihak. Jadi tidak serta merta kalau ada harimau masuk kampung, orang harus panik," imbuhnya.
Solusi
Selain itu, dalam hipotesisnya, Sunarto juga menjelaskan bahwa kasus harimau masuk kampung harus dilihat dari historinya terlebih dahulu.
"Misalnya saya berada di satu kampung tiba-tiba ada harimau, ya itu pertama-tama kita harus pelajari apakah tempat tersebut memang ada harimau atau tidak," katanya.
"Kalau misalnya selama ini ada harimau dan hanya terlihat sebentar, misalnya di kebun saat masyarakat sedang bekerja di ladang sebetulnya itu hal yang normal," tambahnya.
Namun hal itu akan berbeda jika harimau yag masuk ke kampung berada berhari-hari di wilayah tersebut.
"Tapi kalau berhari-hari, ada petugas, di Sumatera kan ada penanganan konflik (manusia-satwa liar) itu di setiap unit BKSDA biasanya ada," ujarnya.
"Jadi seharusnya masyarakat bisa melaporkan ke BKSDA untuk segera turun dan bersama-sama menangani. Minimal seperti itu," tegas Sunarto.
Apa yang disampaikan Sunarto tersebut memang adalah kondisi ideal. Tapi sering kali keadaan di lapangan jauh dari kata ideal.
Mengingat hal tersebut, Sunarto menambahkan bahwa teknis di masing-masing lokasi bisa saja berbeda.
"Setiap kejadian harus dievaluasi langkah yang tepat apa. Karena mengambil atau menangkap harimau pun belum tentu menjadi solusi yang terbaik," katanya.
"Karena dalam banyak kasus, kalau memang wialayah tersebut menjadi lintasan harimau atau menjadi bagian penting dari wilayah jelajah harimau, saat satu harimau diambil, individu lain akan menempati relung yang ditinggalkan atau ditinggalkan harimau yang diambil tadi," tambah Sunarto.
Untuk itu, Sunarto menambahkan, solusi peristiwa harimau masuk pemukiman memang harus disesuaikan dengan keadaan wilayah tersebut.
https://sains.kompas.com/read/2018/03/06/120500823/kasus-sumut-bukti-konflik-manusia-harimau-bagaimana-pencegahannya-