GEMPA Taiwan 6 Februari 2018 pukul 15:50:42 UTC merupakan salah satu gempa yang merusak, dan gempa terbesar dalam 10 tahun tahun terakhir.
Earthquake Hazard Program-USGS mencatat bahwa Gempa Taiwan 2018 terjadi pada magnitudo (Mw) 6,4 sekitar 22 km dari Hualian, Taiwan.
Posisi hiposenter gempa tersebut adalah pada koordinat 24.174 N dan 121.653 E dengan kedalaman 10,6 km.
Hotel Marshal yang berada di kota pelabuhan Hualien adalah salah satu bangunan yang rusak parah akibat guncangan gempa. Data terakhir yang dikeluarkan oleh xinhuanet sebuah media daring di Taiwan menyebutkan korban meninggal 17 orang dan korban lukan mencapai 285 orang.
Taiwan adalah negeri gempa. Dalam sebuah catatan statistik yang dikeluarkan oleh Central Weather Bureau (CWB) Taiwan mencatat bahwa dari tahun 1991 - 2006 ada 18.900 gempa terjadi setiap tahunnya dan 1.000 gempa yang dirasakan.
Jika dirata-ratakan, ada 51 kejadian gempa setiap harinya dengan kedalaman yang dangkal yaitu antara 5 - 30 km.
Historikal Kejadian Gempa Bumi di Taiwan
Gempa di Hualian 2018 bukanlah gempa yang pertama terjadi di Taiwan. Beberapa gempa sebelumnya pernah menimpa pulau yang luasnya hampir sama dengan luasnya Jawa Barat itu.
Dalam sebuah makalah ilmiah yang dipublikasikan pada Jurnal Geophysical Journal International tahun 2009 dengan judul "Earthquake Cycle in Western Taiwan: Insights from historical seismicity", Sin Mei dkk, menjelaskan bahwa sejak 1900 sampai 2006 telah terjadi 97 gempa merusak di Taiwan dan beberapa di antaranya magnitudo gempa lebih dari 7.
Selanjutnya, Sin Mei dkk dalam makalah yang sama memaparkan beberapa kejadian gempa besar di Taiwan. Tahun 1906, Gempa Meishan magnitudo ML=7,1 dengan kedalaman sumber gemoa 6 km.
Tahun 1935, Gempa Taichung-Hsinchu magnitudo ML = 7,1 dengan kedalaman sumber gempa 5 km. Tahun 1941, Gempa Chungpu magnitudo ML = 7,1 dengan kedalaman sumber gempa 12 km.
Kemudian tahun 1999 yang dikenal dengan Gempa Chi-Chi magnitudo ML = 7,3 dengan kedalaman sumber gempa 8 km.
Dari keempat gempa yang dipaparkan di atas, Gempa Chi-Chi merupakan gempa yang sangat merusak dan memiliki kekuatan relatif lebih besar.
Gempa Chi-Chi mengakibatkan 53.661 bangunan hancur dan 53.024 rusak berat. Sedangkan korban jiwa menembus angka 2.456 orang dan korban luka akibat tertimba material bangunan 10.718 orang.
Tatanan tektonik yang rumit
Kejadian gempa di Taiwan sangat dipengaruhi oleh konfigurasi tatanan dan dinamika tektonik yang aktif serta rumit. Bagian timur kawasan Taiwan terdapat lempeng Laut Filipina (Philippine sea plate) yang menunjam masuk ke bawah lempeng Eurasia (Eurasian plate).
Penunjaman yang terjadi pada kedua lempeng tektonik tersebut membentuk palung atau paritan di sisi timur Taiwan, palung ini dikenal dengan sebutan Ryukyu Trench. Sedangkan di bagian selatan tepatnya di perairan Laut China Selatan yang merupakan bagian dari lempeng Eurasia tersubduksi oleh lempeng Laut Philipina sepanjang Manila Trench.
Jadi, Taiwan dikelilingi oleh dua zona subduksi, yaitu Ryukyu Trench dan Manila Trench dengan kecepatan pergerakan pertahunnya adalah 7-8 cm, sehingga membentuk continental collision dan sesar-sesar aktif.
Tulisan Bos dan Spakman dalam sebuah makalah ilmiah yang dipublikasikan pada Journal of Geophysical Research, tahun 2003 menyebutkan sesar-sesar utama yang terdapat di daratan Taiwan.
Makalah ilmiah dengan judul "Surface deformation and tectonic setting of Taiwan inferred from a GPS velocity field" menjelaskan dengan baik tentang pola deformasi sesar-sesar aktif di Taiwan.
Setidaknya ada lima sesar utama yang dimaksud, yaitu (1) Longitudinal Valley Fault -LVF-, (2) Lishan Fault -LF-, (3) Chuchin Fault -CF-, (4) Chaochou-Chishan Fault -CHF-, dan (5) Chukou Fault -CKF-. Ilustrasi dinamika tektonik di Taiwan seperti yang diperlihatkan pada gambar berikut ini.
Melihat struktur tektonik yang rumit dan dinamis seperti yang diperlihatkan pada gambar di atas, maka gempa pada 6 Februari 2018 berada dekat dengan zona subduksi Ryukyu.
Earthquake Hazard Program-USGS menjelaskan bahwa sebelum gempa tanggal 6 Februari 2018, ada beberapa gempa awal (fore-shock) dengan magnitudo M 4.8 mulai dari 3 sampai 6 Februari 2018, yang berjumlah sekitar 19 kejadian gempa.
Pemerintah Taiwan sangat serius berupaya mengurangi risiko gempa bumi. Salah satu upayanya adalah mengembangkan penelitian yang berkaitan dengan kegempaan bersama instansi penelitian dan perguruan tinggi.
Central Weather Bureau (CWB) adalah lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan pemantauan gempa bumi di Taiwan. CWB mengelola sekitar 150 seismometer yang tersebar di seluruh Taiwan dan terpantau secara real time.
Selain seismometer, CWB juga mengelola jaringan pengamatan accelorograf yang fungsinya untuk merekam guncangan permukaan tanah akibat gelombang gempa dan mengukur percepatan gelombang seismik pada permukaan tanah.
Mitigasi gempa di Indonesia
Sama halnya seperti Taiwan, Indonesia juga merupakan negara yang sering dilanda musibah gempa. Indonesia dan Taiwan adalah negeri yang dilewati cincin api (ring of fire).
Dalam dua dekade terakhir, ada banyak kejadian gempa merusak yang melanda Indonesia, beberapa di antaranya membangkitkan gelombang tsunami. Seperti yang terjadi di Aceh 2004, Pangandaran 2006, dan Mentawai 2010.
Gempa Taiwan 2018 tentu memberikan pembelajaran penting bagi upaya mitigasi gempa di Indonesia. Tentu masih segar dalam ingatan kita tentang gempa bumi yang terjadi di Pidie Jaya pada 7 Desember 2016.
Gempa bumi dengan kekuatan magnitudo 6,5 itu mengakibatkan korban meninggal mencapai 104 orang. Sedangkan gempa Taiwan 2018 korban meninggal 17 orang, dengan kekuatan gempanya magnitudo 6,4.
Menjadi perhatian bagi kita, bahwa masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk mengurangi dampak risiko gempa bumi di Indonesia. Baik dari sisi pendidikan, sosialisasi, regulasi, infrastruktur dan penelitian.
Penelitian tentang kegempaan merupakan bagian dari langkah mitigasi dan pengurangan risiko akibat gempa. Pemahaman yang lebih baik terhadap struktur dan tatanan tektonik menjadi informasi awal untuk mengenali sumber gempa bumi.
Keberadaan sesar aktif, kedalaman sumber gempa bumi serta laju geser pergerakan sesar aktif menjadi informasi penting untuk menyusun peta bahaya gempa bumi.
Penelitian-penelitian yang berkaitan dengan gempa bumi banyak dilakukan oleh institusi penelitian dan perguruan tinggi di Indonesia. Sebagian besar dari hasil penelitian tersebut sudah didokumentasikan dan dipublikasi pada jurnal ilmiah dengan reputasi yang baik.
Tahun 2017 lalu, Pusat Studi Gempa Nasional (PusGeN) di bawah koordinasi Kementerian PUPR mengeluarkan Peta Bahaya Gempa Indonesia 2016.
Peta ini merupakan pemutakhiran dari peta sebelumnya yang dikeluarkan pada tahun 2010. Peta Bahaya Gempa Indonesia disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa lembaga, seperti LIPI, BMKG, ITB, Badan Geologi, UGM dan PUPR.
Kehadiran Peta Bahaya Gempa Indonesia akan menjadi acuan dalam pembangunan bangunan dan infrasruktur dengan memperhitungkan dampak goncangan yang dihasilkan akibat gempa bumi.
Harapannya, kita bisa terus belajar dari setiap kejadian gempa bumi dan berusaha untuk mengurangi dampak risiko yang mungkin terjadi. Penelitian yang terpadu dan berkesinambungan adalah salah satu cara untuk menuju harapan itu.
https://sains.kompas.com/read/2018/02/25/154854123/gempa-taiwan-dan-pembelajaran-mitigasi-gempa-di-indonesia