KOMPAS.com -- Andi Rusandi, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, membeberkan secercah harapan untuk konservasi terumbu karang di Indonesia.
Dalam diskusi “Karang yang Kian Sekarat dan Masa Depan Laut Indonesia”, pada Kamis (22/2/2018) di Bentara Budaya Jakarta, Andi mengungkapkan, Indonesia telah hampir mencapai target kawasan konservasi perairan (KKP).
“Pada tahun 2018, Indonesia sudah mempunyai 19,1 juta hektar KKP dari target yang harus dipenuhi pada tahun 2020, yakni 20 juta hektar,” ujarnya.
Ini menggembirakan karena upaya pelestarian ekosistem terumbu karang bisa diwujudkan lewat KKP. Pasalnya, kondisi terumbu karang di Indonesia dalam status mengkhawatirkan.
Data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dirilis pada tahun 2017 menunjukkan bahwa hanya 6,39 persen terumbu karang dalam kondisi sangat baik.
Sementara itu, terumbu karang yang dalam kondisi baik sebesar 23,40 persen, kondisi cukup sebesar 35,06 persen, dan kondisi jelek sebesar 35,15 persen. Hasil ini diambil dari 108 lokasi dan 1064 stasiun di seluruh perairan Indonesia.
Pengukuran kondisi tersebut didasarkan pada persentase tutupan karang hidup.
Tutupan karang hidup dikategorikan menjadi tiga, yakni sangat baik ketika tutupan mencapai 76 persen sampai 100 persen, baik saat tutupan mencapai angka 51 persen sampai 75 persen, cukup dengan indikator 26 sampai 50 persen, dan jelek dengan tutupan hanya 0 persen sampai 25 persen.
Pentingnya konservasi terumbu karang
Dalam acara tersebut, Dirhamsyah selaku Kepala Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) juga mengemukakan mengapa konservasi terumbu karang penting dilakukan.
Dia berkata bahwa Indonesia memiliki kawasan terumbu karang seluas 2,5 juta hektare. Luasan tersebut merupakan 14 persen dari total area karang di dunia.
“Sayangnya, satu karang itu berkembangnya satu tahun satu sentimeter. Bayangkan, untuk mencapai tinggi satu meter butuh waktu 100 tahun,” ujarnya.
Selain karena keindahannya, upaya konservasi patut dilakukan karena karang mulai terancam keberadaannya.
Dirhamsyah membeberkan sejumlah faktor yang membahayakan kelangsungan hidup karang. Faktor tersebut terbagi dua, yakni alami dan ulah manusia.
Faktor alam mencakup fenomena bleaching, bencana, dan predasi. Jika ini penyebabnya, Dirhamsyah yakin bahwa karang juga kemampuan alami untuk kembali normal setelah dilanda kerusakan.
Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Banda, Maluku. Ekosistem terumbu karang di daerah itu dipantau sejak gunung berapi di Banda meletus pada tahun 1988. “Setelah tujuh tahun berlalu, karang bisa berkembang kembali tutupannya. Kendati biodiversitasnya berkurang,” ungkap Dirhamsyah.
Karang juga bisa dipulihkan lebih cepat dengan transplantasi. Akan tetapi, transplantasi hanya berhasil selama manusia tidak tergoda untuk merusak karang. Padahl, karang pada umumnya hancur karena pengeboman dan aktivitas wisata yang tidak memperhatikan lingkungan.
https://sains.kompas.com/read/2018/02/24/193400723/secercah-harapan-untuk-konservasi-terumbu-karang-indonesia.