Dalam catatan letusan gunung api yang ada pada PVMBG, Gunung Sinabung tidak menunjukan aktivitasnya dalam kurun waktu tahun 1600. Kondisi ini yang menjadikan Gunung Sinabung Tipe B dan bukanlah gunung yang menjadi priotas dalam pengamatan sebelum terjadi letusan tahun 2010.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi sebagai lembaga yang berwenang memberikan tiga kategori pada 127 gunung api yang ada di Indonesia, yaitu (1) tipe A dengan kriteria pernah terjadi erupsi magmatik setelah tahun 1600, (2) tipe B dengan kriteria erupsi magmatik sebelum tahun 1600, dan (3) tipe C dengan kriteria hanya terjadi aktivitas fumarol, yaitu gunung api tua yang memiliki lubang yang mengeluarkan uap/gas seperti karbon dioksida, sulfur dioksida, asam hidrolik dan hidrogen sulfida.
Setelah lebih kurang 400 tahun diam dalam tidur yang panjang, akhirnya pada 27 Agustus 2010, Gunung Sinabung bangun dan meletus.
PVMBG langsung memberikan status awas dan tipe Gunung Sinabung berubah menjadi Tipe A. Sebelumnya Gunung Sinabung termasuk dalam golongan Tipe B.
Lebih dari 900 KK yang bermukim di sekitar Gunung Sinabung mengungsi ke lokasi yang lebih aman. Sejak saat itu, letusan Gunung Sinabung terjadi secara fluktuatif sampai dengan letusan terkini pada 19 Februari 2018.
Rentetan letusan Gunung Sinabung
Diawali pada 27 Agustus 2010, Gunung Sinabung mengeluarkan asap dan abu vulkanik dan diikuti dengan erupsi magmatig pada 29 Agustus 2010. Erupsi magmatik ditandai dengan adanya lava pijar yang keluar dari dalam perut Gunung Sinabung.
Berselang satu beberapa hari, tepatnya pada 3 September 2010, letusan kembali terjadi. Letusan ini menyemburkan abu vulkanik setinggi 3.000 meter.
Aktivitas letusan Gunung Sinabung relatif menurun setelah letusan Agustus dan September 2010. Akan tetapi bukan berarti berhenti dan diam dari aktivitas vulkanik.
Pada September 2013, Gunung Sinabung kembali meletus sebanyak 4 kali. Letusan Gunung Sinabung kali ini mengeluarkan awan panas dan abu vulkanik. Hujan abu vulkanik menjangkau wilayah Sibolangit dan Berastagi yang merupakan daerah wisata di Kabupaten Karo.
Memasuki tahun 2014, letusan kembali terjadi. Letusan diawali dengan rentetan gempa vulkanik yang terekam pada stasiun pengamatan gunung api sejak 4 Januari 2014.
Kemudian diikuti dengan hamburan awan panas sampai akhir bulan Januari. Kejadian ini mengakibatkan 14 orang meninggal dunia dan 3 orang luka akibat terdampak awan panas serta pengungsian warga masyarakat melebihi 20 ribu jiwa.
Berselang satu tahun, Gunung Sinabung kembali baraksi dan menggeliat. Pada 3 Juni 2015 letusan kembali terjadi di tubuh Gunung Sinabung. Letusan ini terjadi pada pukul 23.00 dan terjadi pengungsian warga yang bermukim di sekitar gunung.
Pada 21 Mei 2016 letusan dan hamburan awan panas kembali terjadi dan menyelimuti sebagian wilayah di Kabupaten Karo, Sumatra Utara.
Letusan ini mengakibatkan 7 orang meninggal dunia dan korban luka sebanyak 2 orang. Letusan berlangsung 2 hari dan aktivitasnya relatif menurun pada 22 Mei 2016.
Lagi-lagi, penurunan ritme letusan bukan berarti berhenti aktivitas vulkanik. Pada 2 Agustus 2017, aktivitas vulkanik dalam tubuh Gunung Sinabung kembali meningkat.
Kolom abu vulkanik setinggi 4.200 meter keluar dari puncak gunung. Tidak ada laporan korban jiwa dari kejadian tersebut.
Terakhir, Gunung Sinabung kembali mengeluarkan abu vulkanik dengan kolom setinggi 5.000 meter pada 19 Februari 2018. Letusan yang disertai dengan suara gemuruh yang dipicu oleh gempa guguran sebanyak 14 kali.
Citra tomografi Gunung Sinabung
Untuk kasus Gunung Sinabung, proses akumulasi material vulkanik terus berlangsung dalam kurun waktu lebih dari 400 tahun. Jangka waktu yang tidak singkat tentunya.
Sejak terjadi letusan pertama pada Agustus 2010, perhatian semua pihak fokus pada aktivitas Gunung Sinabung. Salah satunya adalah PVMBG sebagai sebuah lembaga pemerintah yang memiliki sebagian fungsinya untuk melakukan pemantauan gunung api di Indonesia.
PVMBG telah melakukan banyak hal untuk memahami dinamika yang terjadi pada Gunung Sinabung.
Beberapa instrumen dipasang di tubuh Gunung Sinabung, salah satunya adalah seismometer. Seismometer ini berfungsi untuk merekam kejadian gempa di sekitar tubuh gunung.
Rekaman kejadian gempa vulkanik (dalam/dangkal) menjadi bagian dari informasi penting untuk mengetahui tingkat aktivitas sebuah gunung.
Selain untuk monitoring aktivitas gunung api, data kejadian gempa yang direkam oleh beberapa seismometer juga dapat dimanfaatkan untuk memodelkan struktur dalam tubuh gunung api.
Seismik tomografi, itulah metode yang digunakan meneropong isi dalam tubuh gunung api. Metode ini sudah banyak diapilkasikan pada gunung api yang ada di dunia termasuk di Indonesia.
Penggambaran isi dalam tubuh Gunung Sinabung dilakukan oleh Nugraha dkk (2017). Nugraha dkk memublikasikan hasil penelitiannya pada Journal of Volcanology and Geothermal Research.
Artikel ini mengambarkan dengan baik sebaran kejadian gempa bumi yang terjadi di dalam tubuh Gunung Sinabung. Sebaran kejadian gempa bumi tersebut direkam oleh 6 stasiun seismik pada periode November - Desember 2013. Tercatat sekitar 4.846 gempa bumi vulkanik (Gambar 1).
Waktu tiba gelombang P dan gelombang S dari setiap gempa bumi adalah parameter penting yang digunakan untuk menentukan kecepatan gelombang P (Vp), gelombang S (Vs) dan perbandingan Vp/Vs.
Kecepatan gelombang tersebut diperoleh dengan menerapkan metoda inversi seismik tomografi. Pola kecepatan gelombang tersebut dapat menggambarkan struktur dalam tubuh gunung api. Hasilnya sebagimana terlihat pada Gambar 2 berikut.
Pola kecepatan gelombang seismik sebagaimana diperlihatkan pada gambar 2 di atas menjelaskan tentang model isi tubuh Gunung Sinabung. Dalam interpretasi yang dimunculkan pada gambar 2 tersebut, terdapat area yang memiliki nilai Vp/Vs yang sangat kuat (R3 dan R5).
Area ini memiliki tingkatan seismisitas yang tinggi sehingga ada kemungkinan pada area tersebut terbentuk kantong magma yang menyuplai material vulkanik ke zona yang lebih dangkal dan sampai ke permukaan.
Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugraha dkk, 2017, memberikan indikasi bahwa material panas dan magma jumlahnya sangat signifikan.
Hal tersebut ditunjukkan dengan kenampakan perbandingan kecepatan gelombang P (Vp) dan kecepatan gelombang S (Vs) yang tinggi. Dalam gambar 2 di atas, perbandingan kedua kecepatan gelombang ini ditandai dengan warna biru.
Berdasarkan hasil penelitian ini, aktivitas Gunung Sinabung masih akan terus terjadi secara fluktuatif pada tahun-tahun mendatang dan belum bisa dipastikan kapan akan berhenti.
Untuk kebutuhan mitigasi dan pengurangan risiko bencana, penelitian yang terpadu dan berkelanjutan merupakan hal penting dilakukan untuk memahami kandungan dan dinamika yang terjadi dalam tubung Gunung Sinabung.
Referensi:
Nugraha, A.D., et al., Joint 3-Dtomographic imaging of Vp, Vs and Vp/Vs and hypocenter relocation at Sinabung volcano, Indonesia fromNovember to December 2013, J. Volcanol. Geotherm. Res. (2017), https://doi.org/10.1016/j.jvolgeores.2017.09.018
https://sains.kompas.com/read/2018/02/23/104228723/fluktuasi-letusan-dan-meneropong-isi-tubuh-gunung-sinabung