KOMPAS.com - Tungau atau kutu busuk merupakan salah satu hama yang sering ada di rumah. Bahkan, hewan yang satu ini tak melulu ada di tempat yang kotor.
Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menunjukkan bahwa tungau tidak berbahaya dan tidak menyebarkan penyakit. Tapi bukan berarti mereka tidak mengganggu.
Kutu kasur akan menggigit kita untuk mengisap darah. Hal ini dapat menyebabkan gatal dan ruam yang mengganggu, dalam beberapa kasus bahkan terjadi reaksi alergi serius.
Karenanya, banyak orang yang mati-matian untuk menyingkirkannya, termasuk menggunakan bahan kimia.
Meski tungau sudah disingkirkan, hadiah perpisahan yang ditinggalkannya tetap merugikan manusia.
Menurut penelitian terbaru, ternyata kotoran serangga tersebut mengandung sisa bahan kimia yang digunakan untuk memusnahkannya. Sisa bahan kimia ini membuat histamin atau zat yang dapat menimbulkan reaksi alergi seperti ruam dan masalah pernapasan.
Penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan di North Carolina State University, AS ini menyebut bahwa tingkat histamin dari kotoran tungau dapat tetap tinggi selama berbulan-bulan ada di rumah yang dibersihkan dengan baik.
"Kutu kasur biasanya hanya dianggap sebagai hama pengganggu, dengan kaliber medis terbatas karena hewan ini tidak diketahui bisa menyebarkan penyakit," ungkap Zachary DeVries, penulis penelitian ini dikutip dari Newsweek, Kamis (15/02/2018).
"Temuan kami menentang kepercayaan ini," imbuh peneliti post-doctoral di North Carolina State University tersebut.
Untuk mendapat temuan ini, DeVries dan koleganya mengumpulkan debu dari 140 apartemen yang berada di gedung yang sama. Gedung ini diketahui penuh dengan tungau meski sudah dilakukan pengendalian hama.
Selanjutnya, para peneliti mengumpulkan sampel lain dari 5 rumah lain yang dianggap bebas hama. Rumah-rumah tersebut berjarak 8 kilometer dari gedung apartemen pertama.
Mereka juga mengukur tingkat debu baik sebelum dan sesudah perusahaan pengendali hama melakukan semprotan insektisida dan perawatan panas untuk membasmi serangga ini.
Dari hal tersebut, para peneliti menemukan berbagai zat di dalam debu, mulai dari serbuk sari, kulit manusia, hingga bakteri. Selanjutnya, para ilmuwan secara khusus menganalisis tingkat histamin yang timbul.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal PLOS One ini menemukan bahwa tingkat histamin tertinggi terdapat di apartemen yang dipenuhi dengan tungau.
"Tingkat histamin di tempat tidur yang dipenuhi serangga setidaknya 20 kali lebih tinggi daripada rumah tanpa tungau," ujar DeVries.
"Kita harus berhati-hati karena tidak diketahui bagaimana paparan histamin lingkungan mempengaruhi manusia," imbuh DeVries.
DeVries mengakui bahwa temuannya mengubah cara pikir manusia tentang kutu busuk.
"Jika histamin memiliki efek medis, baik sendiri atau dikombinasikan dengan alergen lainnya, ini benar-benar bisa mengubah cara kita melihat tungau dan bagaimana kita mengendalikannya," kata DeVries.
Meski begitu, dia juga menjelaskan bahwa penelitian lanjutan tentang tungau dan histamin yang lebih besar perlu dilakukan. Itu guna mengonfirmasi temuannya sekaligus mengeksplorasi apakah variabel lain dapat mempengaruhi temuan mereka.
Selain itu, penelitian terkait dampak kesehatan dari histamin di udara juga perlu dilakukan.
https://sains.kompas.com/read/2018/02/18/170000123/temuan-baru-kutu-busuk-sebabkan-masalah-kesehatan