KOMPAS.com - Putus cinta tak pernah diinginkan siapapun. Perasaan sedih hingga marah mungkin akan dialami orang yang mengalaminya.
Tak jarang, pasca putus cinta, orang lebih suka stalking mantan. Apalagi, di era sosial media seperti sekarang, menguntit mantan bukanlah hal yang sulit.
Hal ini pulalah yang membuat banyak orang tak bisa berhenti menguntit mantan lewat media sosial. Tapi pernahkah Anda penasaran apa alasan dibalik tak bisanya seseorang berhenti menguntit mantan lewat media sosial?
Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking pada 2015, para peneliti melihat alasan psikologis dibalik pengawasan elektronik interpersonal (istilah ilmiah untuk stalking mantan di media sosial).
Dr Jese Fox dan koleganya, Dr Robert S Tokunaga mengevaluasi asosiasi antara berbagai faktor hubungan berkaitan dengan komitmen dalam sebuah hubungan. Faktor-faktor yang dimaksud adalah keterikatan, modal dalam sebuah hubungan, tanggung jawab atas putus cinta, mencari alternatif hubungan lain, dan tekanan emosional setelah putus cinta.
Para peneliti ini kemudian menemukan bahwa tingkat komitmen (didasari oleh tingkat modal dalam hubungan) secara langsug terkait dengan rasa sakit karena patah hati.
Selain itu, para peneliti menemukan bahwa makin besar kesedihan pasca putus cinta, semakin seseotang menguntit mantan lewat sosial media. Hal ini terutama berlaku bagi pasangan yang diputuskan.
Untuk mendapatkan temuan tersebut, para peneliti merekrut 431 peserta dari Midwestern University, AS yang mengalami putus cinta pada tahun sebelumnya. Peserta kemudian diminta mengisi survei online untuk mengukur adanya berbagai faktor dalam hubungan yang dijalaninya.
Para peneliti berspekulasi bahwa orang yang paling mengalami trauma terhadap putus cinta adalah yang paling mungkin stalking mantan di Facebook.
"Sejak stres diketahui dapat memicu pengunaan internet yang bermasalah, psikolog mungkin ingin menilai bahwa peningkatan penggunaan internet dilakukan oleh pasien mereka yang sedang stres, seperti putus cinta," kata Dr Brenda K Wiederhold, pemimpin redaksi Interactive Media Institute, San Diego dikutip dari Medical Daily, Kamis (24/09/2015).
"Kecanduan"
Pendapat lain tentang alasan kita tak bisa berhenti karena adanya kecanduan dalam perpisahan.
Dalam penelitian yang diterbitkan di Journal of Neurophysiology pada 2010 menyebut bahwa karakteristi "kecanduan" di otak kita juga tercermin saat putus cinta. Hal ini didapatkan para peneliti setelah mengamati 10 wanita dan 5 pria yang baru saja putus cinta.
Para peneliti kemudian mengindentifikasi sistem saraf yang terkait dengan keadaan kehilangan alami ini menggunakan fungsional MRI (fMRI).
Para peserta secara bergantian melihat foto mantan mereka dan orang yang akrab diselingi dengan tugas pengalih perhatian. Bagian otak yang aktif saat mereka melihat foto mantan adalah otak depan.
Otak depan sendiri diketahui terkait dengan relevansi motivasi, keuntungan/kerugian, kecanduan narkoba, dan regulasi emosi.
"Aktivasi daerah yang terlibat dalam kecanduan narkoba dapat membantu menjelaskan perilaku obsesif yang terkait dengan putus cinta," tuli laporan tersebut dikutip dari American Physiological Society, Rabu (01/07/2010).
Sayangnya, rasa kecanduan ini membuat kita sulit untuk menghentikannya. Lisa Bobby, direktur klinis dari Growing Self Counseling and Life Coaching menyebut bahwa ini merupakan bagian dari reaksi biologis.
"Memiliki kontak seperti melihat foto atau membaca teks dari mantan akan memberi Anda lonjakan endorfin," kata Bobby dilansir dari New York Magazine, Jumat (14/11/2014).
Exaholic
Kecanduan seperti ini bisa menimbulkan reaksi ekstrem yang disebut Boby sebagai Exaholic.
"Exaholic tidak bersedih, mereka terjebak dalam obsesi kerinduan yang terus menerus. Exaholic juga akan mengalami masalah dengan konsenrasi, mood, kurang minat terhadap suatu aktivitas, serta berkurangnya produktivitas dan persahabatan pasca putus cinta," kata Bobby.
Bobby juga menyebut orang yang menjadi exaholic bahkan membiarkan kesedihan dan obsesinya terhadap mantan mengambil alih kehidupan pribadi dan sosialnya.
Oleh karena itu, Bobby menyarankan untuk melepaskan kecanduan tersebut. Membatasi stalking mantan dengan menghapusnya dalam daftar pertemanan di media sosial adalah salah satu caranya.
https://sains.kompas.com/read/2018/02/14/193500923/sains-jelaskan-kenapa-kita-suka-stalking-mantan