KOMPAS.com -- Neni Nuraeny, peneliti senior di Divisi Penelitian dan Pengembangan Biofarma, mengungkapkan bahwa ketersediaan obat jenis baru di pasaran semakin sedikit.
Diungkapkannya dalam acara Media Gathering Biofarma di Cirebon pada Rabu (8/2/2018), ada beberapa hal yang menjadi kendala di dunia farmasi Indonesia.
Pertama adalah penelitian untuk mengembangkan obat memakan waktu 10 hingga 20 tahun sehingga berdampak pada biaya produksi yang besar.
“(Lalu) ada ketidakpastian akan berhasil atau tidak. Penyakit sulit, seperti penyakit otak misalnya, butuh waktu lama untuk mengembangkan obatnya,” ujar Neni.
Selain itu, bahan baku pembuat obat yang masih harus diimpor turut melatarbelakangi minimnya obat baru yang muncul di pasaran. Ketergantungan Indonesia terhadap bahan baku obat dari luar negeri mencapai 90 hingga 95 persen.
Padahal, Indonesia menyimpan kekayaan berupa 30.000 jenis tanaman yang 7.500 di antaranya bisa diolah untuk pengobatan herbal.
Neni pun lantas merekomendasikan untuk mengembangkan obat alami bagi dunia farmasi. Ini sejalan dengan program saintifikasi jamu yang digalakkan pemerintah pada tahun 2009.
“Sebagian besar masyarakat masih mengonsumsi obat tradisional. Selain itu, suplemen kesehatan yang mengandung kandungan herbal jumlahnya meningkat di pasaran, selalu laku,” ujarnya.
Upaya mengembangkan obat natural ini turut didukung oleh data dari Survei Nasional Sosial dan Ekonomi yang menyebut bahwa konsumsi jamu terus bertambah. Pada tahun 1980, ada peningkatan penggunaan jamu sebesar 20 persen.
Enam tahun kemudian, angka kenaikannya menjadi 23 persen. Pada tahun 2011, konsumsi jamu naik 32 persen. Kenaikan pemakaian jamu pada tahun 2004 menduduki angka 33 persen. Sedangkan pada tahun 2007, penggunaan jamu melonjak 49 persen.
https://sains.kompas.com/read/2018/02/10/100700523/penemuan-obat-baru-terganjal-bahan-baku-tanaman-herbal-jadi-solusi