Gerhana menawarkan kesempatan untuk melihat apa yang terjadi saat permukaan bulan mendingin dengan cepat akibat terhalangnya cahaya matahari untuk sampai ke bulan.
Informasi ini akan membantu para astronom memahami beberapa karakteristik regolith atau campuran tanah dan batuan yang belum dan sudah mengalami pelapukan di permukaan bulan, juga bagaimana regolith berubah dari waktu ke waktu.
"Selama gerhana, suhu akan turun drastis. Seolah-olah bulan yang panas seperti oven berubah menjadi lemari es hanya dalam beberapa jam saja," kata Noah Petro, peneliti NASA, dilansir dari laman resmi NASA, Selasa (23/1/2018).
Biasanya transisi temperatur ini terjadi selama 29,5 hari. Namun, adanya peristiwa gerhana membuat transisi ini terjadi begitu cepat.
Tiga peristiwa yang terjadi secara bersamaan ini akan dipelajari oleh para astronom dengan menggunakan kamera penginderaan panas atau thermal dari Observatorium Haleakala di pulau Maui Hawaii.
Tim melakukan investigasi terhadap tempat-tempat yang panasnya bisa terdeteksi melalui panjang gelombang yang tak terlihat. Sebelumnya, tim telah melakukan penelitian semacam ini beberapa kali dan memilih lokasi bulan untuk melihat bagaimana bulan mempertahankan kehangatan sepanjang gerhana.
"Seluruh karakter bulan berubah saat kita mengamati dengan kamera thermal selama terjadi gerhana. Di kegelapan, banyak kawah serta bagian lain yang tidak terlihat, dan saat gerhana normalnya area di sekitar kawah 'bersinar' karena bebatuan masih hangat," kata Paul Hayne, peneliti dari University of Colorado Boulder.
Seberapa cepat dan lambatnya permukaan kehilangan panas tergantung pada ukuran bebatuan dan karakteristik material, termasuk komposisinya.
Penelitian jangka pendek melalui fenomena gerhana ini akan memberikan informasi detail lain mengenai material-material halus dan lapisan teratas regolith.
Lantas peneliti akan membandingkan hasil tersebut dengan data yang sudah dikumpulkan oleh Lunar Reconnaissance Orbiter (LRO), pesawat robot ruang angkasa NASA yang punya tugas mengeksplorasi Bulan.
Penelitian panjang yang sudah dilakukan sejak 2009 ini juga sudah mengungkap informasi mengenai sejumlah besar permukaan regolith.
Dengan membandingkan dua jenis pengamatan tersebut, tim dapat melihat variasi di area tertentu, misalnya wilayah bulan yang disebut dengan Reiner Gamma.
Informasi semacam ini berguna untuk tujuan praktis seperti mencari pendaratan yang sesuai. Selain itu, juga membantu peneliti memahami evolusi permukaan bulan.
"Studi ini akan membantu kami menceritakan bagaimana perubahan yang terjadi di permukaan Bulan melalui fase geologis," kata Petro.
https://sains.kompas.com/read/2018/01/31/193700523/pentingnya-super-blue-blood-moon-bagi-dunia-astronomi