SELASA, 23 Januari 2018 pukul 13.34, sebagian besar warga yang beraktivitas di sepanjang pantai selatan Banten dan Jawa Barat dikejutkan dengan kejadian gempa bumi.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan bahwa gempa bumi tersebut berkekuatan magnitudo 6.1. Posisi hiposenter (lokasi sumber gempabumi) pada kedalaman 61 km dengan koordinat 7.23 LS dan 105.9 BT atau tepatnya sekitar 43 km ke arah lepas pantai dari Kota Muarabinuangen, Kab. Cilangkahan, Banten. Goncangan gempanya dirasakan oleh masyarakat yang beraktivitas di Serang, Tanngerang, Jakarta, Bandung, Lampung dan bahkan sampai Yogyakarta.
Gempa yang terjadi pada hari Selasa lalu menjadi viral dengan sebutan Gempa Banten. Penyebutan nama tersebut berdasarkan pada lokasi kejadiannya yang berada dekat dengan Banten. Begitu juga halnya dengan beberapa gempa yang terjadi sebelumnya di daerah lain, seperti Gempa Aceh 2004, Gempa Nias 2005, Gempa Jogja 2006, Gempa Bengkulu 2007, Gempa Padang 2009, Gempa Mentawai 2010 dan terakhir yang masih segar dalam ingatan adalah Gempa Tasik 2017.
Gempa Banten 2018 memberikan isyarat tentang keaktifan zona tektonik di selatan Jawa yang mengindikasi tingginya potensi kegempaan. Kejadian gempa di selatan Jawa tidak terlepas dari aktivitas tumbukan yang terjadi pada zona subduksi yang merupakan pertemuaan dua lempeng tektonik, yaitu Lempeng Eurasia dan Indo-Australia.
Meilano dkk dalam makalah dengan judul Preliminary deformation model for National Seismic Hazard map of Indonesia yang dipublikasikan pada AIP Conference Proceedings 1658 (2015)menyebutkan bahwa deformasi yang terjadi pada zona tumbukan di selatan Jawa adalah 10 mm/tahun. Sementara itu, kecepatan tumbukannya adalah 68 mm/tahun sebagaimana ditulis dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017.
Dalam catatan kejadian gempa yang merusak di selatan Pulau Jawa, setidaknya ada beberapa gempa yang memiliki kekuatan yang signifikan, yaitu Gempa Pangandaran 2006 berkekuatan M7.8, Gempa Tasik 2009 berkekuatan M7.3 dan M6.9 dan yang terbaru sebelum Gempa Banten adalah Gempa Tasik yang terjadi pada pertengahan Desember 2017 dengan kekuatan M6.9.
Secara statistik, setelah Gempa Pangandaran 2006 yang disusul dengan gelombang tsunami, wilayah selatan Jawa menjadi perhatian serius untuk dipahami dengan lebih baik.
Sumber gempa di Indonesia
Sebuah pemahaman bersama, bahwasanya Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan akan bahaya gempa bumi. Kondisi ini sangat dipengaruhi oleh posisi wilayah Indonesia yang berada pada zona pertemuan lempeng tektonik dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia, Pasifik dan Filipina. Interaksi keempat lempeng tersebut memengaruhi tatanan tektonik di daratan Indonesia yang memunculkan adanya sesar-sesar aktif di daratan maupun di lautan.
Pusat Studi Gempa Nasional (PuGeN) dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 merilis bahwa ada 295 sumber gempa bumi yang ditemukan di Indonesia, mulai dari Sumatra, Jawa-Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.
Angka 295 sumber gempa bumi mengalami peningkatan yang signifikan dibanding dengan hasil temuan yang diperoleh pada penyusunan peta gempa tahun 2010. Pada penyusunan Peta Gempa Indonesia tahun 2010, jumlah sumber gempa yang diketahui adalah 81 sumber gempa, baik yang ada di daratan maupun di lepas pantai. Penemuan sumber gempa tersebut berdasarkan proses penelitian secara terpadu yang terdiri dari bidang keilmuan geologi gempa bumi, seismologi dan geodesi tektonik.
Para ahli kegempaan yang tergabung dalam Pusat Studi Gempa Nasional (PuGeN) telah mencoba langkah-langkah yang sangat positif untuk memahami sumber gempa di Indonesia. Secara berkelanjutan, mereka melakukan penelitian dan diskusi untuk menghitung dan mempelajari perilaku sumber gempa dengan lebih baik, meskipun perlu diakui bahwa kondisi geologi dan tektonik di Indonesia adalah unik dan banyak parameter yang harus dipertimbangkan.
Oleh karena itu, sumber gempa yang berjumlah 295 sebagaimana yang dilaporkan dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 bukanlah angka final. Masih banyak zona yang menjadi sumber gempa bumi di Indonesia belum terpetakan dengan baik.
Bahaya laten gempabumi
Sumber kegempaan di selatan Jawa sebagaimana dirilis dalam gambar IV-62 dan tabel IV-24 pada buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017 terbagi dalam tiga segmen, yaitu segmen Selat Sunda-Banten, segmen Jawa Barat dan segmen Jateng-Jatim. Berdasarkan hasil perhitungan, maksimum energi gempa yang mungkin dihasilkan oleh setiap segmen tersebut adalah M8.8 untuk segmen Selat Sunda-Banten, M8.8 untuk segmen Jawa Barat dan M8.9 untuk Jateng-Jatim.
Angka energi gempa (magnitudo) yang digambarkan sebelumnya masih terlokalisasi oleh segmentasi. Angka tersebut bisa saja menjadi lebih besar jika dua segmen atau lebih melepaskan energi gempa secara bersamaan. Kondisi ini pernah terjadi pada Gempa Tohoku 2011, lebih dari satu segmen melepaskan energi secara bersaamaan dan menghasilkan energi gempa mencapai M9.1.
Sebagaimana yang terlihat pada gambar berikut, terlihat sebaran gempa yang pernah terjadi di selatan Jawa berdasarkan data BMKG tahun 2007-2016 dengan kedalaman hiposenter gempa sampai 200km.
Berdasarkan pola sebaran gempa pada gambar tersebut, ada beberapa bagian yang kejadian gempanya relatif jarang (kotak 1 dan 2). Hal ini mengindikasikan masih adanya akumulasi energi lokasi itu. Jika mengacu pada gambar IV-62 (buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia Tahun 2017), lokasi 1 adalah segmen Selat Sunda- Banten dan lokasi 2 adalah segmen Jateng-Jatim.
Gambar: Sebaran kejadian gempa bumi di Pulau Jawa dan sekitarnya. Degradasi warna pada lingkaran kecil memberikan kedalaman sumber gempa. Kotak hitam 1 dan 2 mengindikasikan adanya seismic gap di selatan Jawa. Seismic gap ini menandakan akumulasi energi yang masih terjadi dan belum terlepaskan.
Pulau Jawa merupakan salah satu wilayah yang strategis bagi Indonesia. Banyak objek-objek vital yang ada di Pulau Jawa, salah satunya adalah Jakarta yang menjadi ibu kota Negara Indonesia. Selain itu, jumlah populasi di Pulau Jawa sangat signifikan.
Berdasarkan proyeksi BPS pada tahun 2017, populasi di Pulau Jawa mencapai 149 juta jiwa, atau 57 persen dari total populasi Indonesia. Kondisi ini menjadikan tingkat risiko yang tinggi jika terjadi gempa bumi, terlebih lagi jika diikuti oleh gelombang tsunami.
Buku Indonesian’s Historical Earthquake yang dipublikasikan oleh Geoscience Australia menceritakan tentang beberapa kejadian gempa bumi yang merusak di masa lampau, khususnya di Pulau Jawa dan sekitarnya. Setidaknya ada delapan kejadian gempa yaitu tahun 1699 (Jawa dan Sumatra), 1780 (Jawa Barat dan Sumatra), 1815 (Jawa, Bali dan Lombok), 1820 (Jawa dan Flores), 1834 (Jawa Barat), 1840 (Jawa Tengah dan Timur), 1847 (Jawa Barat dan Tengah) dan 1867 (Jawa dan Bali).
Catatan kejadian gempa bumi pada masa lalu memberikan pemahaman bahwa kejadian gempa bumi dapat berulang kembali. Hal ini dikarenakan perilaku gempa bumi dapat kembali melepaskan energi dalam rentang waktu puluhan atau ratusan tahun.
Belajar dari kejadian gempa bumi pada hari Selasa, 23 Januari 2018 lalu, banyak masyarakat yang melakukan evakuasi dalam kepanikan. Terlebih lagi bagi warga Jakarta yang beraktivitas pada gedung-gedung bertingkat. Kebanyakan masyarakat berhamburan keluar dari gedung dan berkumpul di pelataran, bahkan di jalan, sesaat gempa terjadi.
Hal ini memberikan indikasi bahwa kesiapan untuk menghadapi kondisi darurat akibat gempa bumi belum ada. Artinya, masih banyak “PR” yang harus dilakukan untuk meningkatkan kewaspadaan dan mengurangi risiko gempa bumi di masa yang akan datang.
https://sains.kompas.com/read/2018/01/27/190600023/mewaspadai-bahaya-laten-gempa-bumi-di-selatan-jawa